HUKUM MEMATOK UPAH DALAM RUQYAH
Oleh: Ust. Muhammad Faizar
Bismillah..
Bahasan mengenai UPAH RUQYAH mungkin sudah banyak ditulis oleh para asatidzah yg lebih berkompeten ketimbang saya, dan pada kali ini saya hanya ingin menambahkan sedikit saja tentang PENETAPAN UPAH dalam ruqyah..
Smoga bisa menambah khazanah keilmuan dan pengetahuan kita mengenai hukum-hukum dalam ruqyah..
Seperti yg sudah kita ketahui bersama bahwa mengambil upah dalam ruqyah hukumnya BOLEH dan HALAL... banyak sekali fatwa2 ulama yg membolehkan pengambilan upah dalam ruqyah..
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqolany rahimahullah berkata dlm Fathul Baary (jlid 4 hal.457) mengenai hukum mengambil UPAH dalam ruqyah :
ﺍﺗﻔﺎﻕ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ ﻭ ﻏﻴﺮﻫﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻋﻠﻰ ﺟﻮﺍﺯ ﺃﺧﺬ ﺍﻷﺟﺮﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﻗﻴﺔ
"Para imam yg empat dan ulama-ulama selain mereka telah bersepakat DIBOLEHKANNYA mengambil upah dari ruqyah yg dilakukan"
Mereka berdalil dgn hadits Abu Sa'id yg ada dalam ash-shahihain, begitu pula haditsnya Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma yg di dalamnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam bersabda :
ﺇﻥ ﺃﺣﻖ ﻣﺎ ﺃﺧﺬﺗﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺟﺮﺍ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ
"Upah yang paling berhak untuk kalian ambil adalah dari kitabullah"
Tetapi permasalahannya, apa hukum orang yg MEMATOK/
mensyaratkan upah dalam praktek ruqyahnya ..??
Apa saja syarat dibolehkannya seseorang mematok upah dalam ruqyah ??
Mengenai upah yg ditarif para ulama sudah menjelaskannya.
....
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni jilid 5 halaman 541 beliau berkata :
ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻣﻮﺳﻰ : ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻤﺸﺎﺭﻃﺔ ﺍﻟﻄﺒﻴﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺒﺮﺍﺀ ﻷﻥ ﺃﺑﺎ ﺳﻌﻴﺪ ﺣﻴﻦ ﺭﻗﻰ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺷﺎﺭﻃﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺒﺮﺍﺀ
Ibnu Abi Musa pernah berkata : "Tidak mengapa seorang thabib mensyaratkan upah/menarif atas sebuah kesembuhan, karena Abu Sa'id ketika ia meruqyah seorang lelaki ia menentukan upah atas kesembuhannya.."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berkata dlm majmu' fatawa jilid 20 hal.507 :
ﺇﺫﺍ ﺟﻌﻞ ﺍﻟﻄﺒﻴﺐ ﺟﻌﻼ ﻋﻠﻰ ﺷﻔﺎﺀ ﺍﻟﻤﺮﻳﺾ ﺟﺎﺯ، ﻛﻤﺎ ﺃﺧﺬ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺟﻌﻞ ﻟﻬﻢ ﻗﻄﻴﻊ ﻋﻠﻰ ﺷﻔﺎﺀ ﺳﻴﺪ ﺍﻟﺤﻲ، ﻓﺮﻗﺎﻫﻢ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺣﺘﻰ ﺑﺮﺃ،ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺠﻌﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺸﻔﺎﺀ ﻻ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ
"Apabila seorang thabib menentukan upah atas suatu kesembuhan pesakit, maka hal itu diperbolehkan..
Sebagaimana para shahabat Nabi yg menentukan upah atas kesembuhan kepala desa dengan bbrp ekor kambing, diantara shahabat tsb ada yg meruqyah hingga akhirnya SEMBUH, maka SESUNGGUHNYA (PENETAPAN) UPAH itu (dibolehkan) karena tercapainya KESEMBUHAN, BUKAN ATAS BACAAN (ruqyahnya)..."
Syaikh Jibrin berkata :
ﻻ ﻣﺎﻧﻊ ﻣﻦ ﺃﺧﺬ ﺍﻷﺟﺮﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﻗﻴﺔ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﺑﺸﺮﻁ ﺍﻟﺒﺮﺍﺀﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺮﺽ ﻭ ﺯﻭﺍﻝ ﺃﺛﺮﻩ، ﻭ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺣﺪﻳﺚ ﺃﺑﻲ ﺳﻌﻴﺪ
"Mengambil upah dalam ruqyah syar'iyyah TIDAKLAH TERLARANG, dengan SYARAT pasien SEMBUH dari penyakitnya dan efek penyakitnya HILANG.. dalil mengenai hal itu adalah haditsnya Abu Sa'id .."
Loh KESEMBUHAN KAN HAKNYA ALLAH, BUKAN HAK PERUQYAH ???
Betul...
Penjelasannya belum sampai di situ.. dan mohon jgn bosan bacanya
Jadi, yg dimaksud kesembuhan itu adalah USAHA MAKSIMAL dalam mencapai kesembuhan pasien...
boleh kita mengambil upah yg disyaratkan saat pasien sudah mengalami kemajuan dan perubahan pasca ruqyah.. minimal ada perubahan positif yg terlihat jelas dan dirasakan pasien pasca ruqyah yg dilaksanakan, bukan kesembuhan secara mutlaq tanpa kambuh2an lg...
Hal ini dijelaskan syaikh Hilmy bin Muhammad bin Isma'il Ar-Rasyidi :
ﻭﻻ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﺃﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﻀﻤﻦ ﺫﻟﻚ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﻭ ﺍﻟﻤﺘﻌﺎﺭﻑ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻲ ﺣﺼﻮﻝ ﺍﻟﺸﻔﺎﺀ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺴﺘﺤﻖ ﺑﻪ ﺍﻟﺠﻌﻞ ﻫﻮ ﺣﺼﻮﻟﻪ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻮﻗﺖ
"Tidak ada seorang pun yg bisa menjamin kesembuhan secara mutlaq..
dan orang yg faham dalam mencapai suatu kesembuhan adalah orang yg berhak menerima upah yg ditarif, yaitu dengan cara memfokuskan kesembuhan pada waktu dia mengobati.."
Intinya walau mungkin kambuh lg, tp setidaknya sudah mencapai kesembuhan saat diruqyah.. adapun jika kena ganggu lg pasca ruqyah, maka itu diluar tanggungan peruqyah karena pasca ruqyah adalah tugas masing2 individu pasien utk menjaga perlindungan Allah ...
Jika keadannya demikian, maka tarif yg dipatok diperbolehkan utk diambil dan HALAL hukumnya...
Adapun jika tidak ada perubahan apa-apa, apalagi hanya dibiarkan begitu saja, baca sekedar baca, ngobatin tanpa fokus utk memaksimalkan pengobatan, hanya sebagai ajang bangga2an "menaklukkan jin" maka upah yg ditarif menjadi HARAM dan TIDAK BOLEH diambil... karena hal tsb sama saja menipu dan memakan harta manusia dgn cara yg batil...
Solusinya sebenarnya mudah, jika memang mau menarif dan memfokuskan pengobatan pasien agar bisa benar2 sembuh, maka BATASILAH JUMLAH PASIEN menurut kadar kemampuan peruqyah...
jika mampunya 20 ya 20 saja...
jika mampunya 5 ya 5 saja...
Atau bahkan jika mampunya hanya 1 orang ya 1 orang saja...
Itu lebih utama dibandingkan 1000 orang tp ngga ada yg tertangani secara maksimal...
Dan tentunya lebih menenangkan hati karena tidak terbebani oleh banyaknya mereka yg sudah merasa bayar dgn tarif yg ditetapkan utk "disembuhkan" tapi tidak mendapatkan penanganan secara khusus dan terfokus...
Lah terus utk akomodasi peruqyah gmn ?
Akomodasi tidak termasuk dlm bab ju'lah atau TARIF yg ditetapkan..
ini beda pembahasan, krn akomodasi adalah salah satu bentuk ADAB "orang yg mengundang" kepada yg "diundang"..
Dan kalau peruqyahnya menetapkan harga tiket atau uang bensin, maka itu bukan termasuk dari ju'lah yg dimaksud dalam pembahasan ini...
Smoga bisa difahami...