Kemarin saya terhenyak mendengar warung milik teman saya yang terletak di sebuah mal, ternyata harus ditutup. Padahal beberapa kali saya ke sana dan selalu kehabisan. Lantaran itu saya berasumsi bahwa bisnis teman saya itu berjalan lancar jaya. Buktinya selalu sold out. Tetapi ternyata tidak demikian keadaan sesungguhnya.
Ketika saya tanyakan penyebab ia menutup bisnis kulinernya, ia pun menceritakan tentang betapa tidak sehat (dan tidak masuk akal) persaingan yang terjadi antar pemilik usaha. Hal itu terkait dengan penggunaan apa yang umum kita kenal dengan istilah magic atau perdukunan.
Artinya, agar dapat menarik pelanggan, lazim bagi para pemilik bisnis kuliner untuk menggunakan jasa dukun (dan tuyul). Dan sebagai bagian dari upaya tersebut mereka tidak segan2 meminta dukun untuk menyerang para pesaingnya.
Itulah yang dialami teman saya ini, sampai bisnis kuliner yang baru seumur jagung itu harus tutup karena menerima serangan demi serangan.
Beberapa tahun lalu, saya pernah mewawancarai salah seorang pakar kuliner Indonesia, Pak Bondan "Maknyus" Winarno. Salah satu pertanyaan saya adalah, 'apa yang paling ia takuti?' Jawabannya mengejutkan saya: saya takut disantet.
Mengapa jawaban itu mengejutkan? Karena saya tidak pernah menyangka ia akan menyebutkan hal itu. 'Masa, seorang Bondan Winarno takut disantet?'
Lalu Pak Bondan menjelaskan kepada saya, bahwa ia memperkirakan 99 persen bisnis kuliner di Indonesia menggunakan jasa dukun atau magic sebagai penglaris. Kalaupun bukan pebisnis kulinernya, misalnya fast food franchise dari luar negeri, maka pemilik tempatnya yang "bermain".
Lantaran hal itulah Pak Bondan menjawab bahwa ia paling takut disantet. Disantet oleh para pemilik bisnis kuliner yang tidak terima dengan kritik ia, atau hanya lantaran menolak memberi cap "maknyus" yang legendaris, sebagai pertanda jaminan mutu.
Kejadian yang menimpa teman saya itu bukan yang pertama kali saya dengar. Tetangga saya, pun, harus berhadapan dengan ilmu hitam ketika warungnya dianggap sebagai ancaman warung lain.
Ketika ia memutuskan menutup warung dan membuka rumah makan di tempat yang jauh dari warung pertamanya, lagi2 ia kena dikerjain oleh pesaingnya. Lain orang, lain tempat, lain bisnis. Bahkan mantan asisten rumah tangga kami yang membuka usaha nasi rames bermodal meja tua di pinggir jalan, pun, tidak lepas dari dikerjain pesaingnya.
Hal ini menjadi pertanyaan besar di benak saya, 'sudah sedemikian rusaknya, kah, moral dan mental masyarakat kita, sehingga rela menghalalkan segala cara demi memperoleh keuntungan?'
Wallahualam. Nyatanya, para pebisnis kuliner yang polos selalu tumbang berguguran karena masakannya cepat basi padahal baru diangkat dari penggorengan, bau busuk menyengat di warung yang tidak bisa dihilangkan dengan pembersih apapun, paranoid karena merasa dihantui sampai2 melarikan diri dari rumah dalam keadaan telanjang, sampai muntah darah bercampur silet dan peniti.
Astaghfirullahal adzimi...