“Di antaranya, ruqyah yang mereka klaim berasal dari Al-Qur`an,
As-Sunnah, atau nama-nama Allah I yang telah ditetapkan di dalamnya.
Mereka ubah sendiri ke dalam bahasa Suryaniyah, Ibraniyah, atau yang
selainnya dan mereka keluarkan dari bahasa Arab. Aku tidak tahu –jika
kita benarkan pengakuan-pengakuan mereka– apakah mereka meyakini bahwa
ruqyah tidak bermanfaat bila menggunakan bahasa Arab yang dengannya
Al-Qur`an turun dan Rasulullah n menyampaikan Sunnahnya, sehingga mereka
perlu menerjemahkannya ke bahasa selain Arab?
Atau mereka meyakini
bahwa ruqyah dengan bahasa ‘ajam lebih bermanfaat daripada ruqyah dengan
bahasa Arab? Atau ruqyah dengan bahasa Arab bermanfaat untuk satu
perkara sedangkan ruqyah dengan bahasa ‘ajam bermanfat untuk perkara
yang lain, dan salah satunya tidak pantas digunakan untuk yang lainnya?
Atau setankah yang telah menghiasi perbuatan mereka ini dan mPraktek ruqyah yang marak di tengah-tengah kaum muslimin belakangan ini menuntut kita untuk bersikap jeli dan teliti. Karena tak semua praktek ruqyah yang dilakukan sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Bahkan banyak yang bertentangan dengan kedua wahyu ini. Di satu sisi, mereka melakukan pengobatan dengan mengharap kesembuhan dari Allah I. Namun di sisi lain, dalam melakukannya mereka melanggar syariat Allah I. Ini merupakan hal yang sangat bertolak belakang. Bagaimana mungkin mereka menggabungkan pengharapan kepada Allah I dan pelanggaran terhadap syariat-Nya?
Tak heran, jika banyak orang yang kemudian menjadi rusak hati dan agamanya karena melakukan praktek ruqyah yang menyimpang. Oleh karena itu, barangsiapa ingin melakukan amalan ini dengan mengharap kesembuhan dari Allah I dan juga diridhai oleh-Nya, hendaknya dia mempelajari terlebih dahulu rambu-rambu syariat Allah I yang dibawa Rasulullah n tentang masalah ini.
Setelah sebelumnya membahas ruqyah syar’i, maka dalam kesempatan ini akan dikaji tentang ruqyah yang menyimpang. Sehingga kita tidak mudah tertipu oleh para peruqyah yang membawa berbagai bentuk pelanggaran terhadap syariat Allah I. Apalagi amat disayangkan, sebagian mereka justru membawa label Islam, bergelar ustadz, kyai atau yang lainnya. Ini merupakan tindakan aniaya terhadap Islam dan gelar keilmuan itu sendiri.
Di antara contohnya, yakni menyemarakkan praktek ruqyah dengan tendensi politik tertentu dalam rangka menggalang simpatisan atau kader partai, dan lainnya.
Di antara yang bisa kita sebutkan dari praktek ruqyah yang menyimpang adalah sebagai berikut:
1. Melakukan syirik kepada Allah
Seharusnya ruqyah-ruqyah itu diambil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Bukan dari jampi-jampi, mantera, atau bacaan yang berasal dari dukun, tukang sihir, paranormal, setan atau jin. Karena yang demikian itu tak jarang mengandung permintaan tolong kepada setan, jin, wali, dan yang lainnya. Ini jelas merupakan perbuatan syirik kepada Allah I. Bahkan ruqyah-ruqyah yang syirik ini terkadang disertai penyembelihan, nadzar kepada selain Allah I, dan kesyirikan-kesyirikan lainnya. Maka seseorang yang melakukan ruqyah wajib menjauhi perbuatan syirik. Karena Allah I menyatakan dalam Al-Qur`an:
“Sesungguhnya Allah tidak mengam-puni perbuatan syirik terhadap-Nya, dan mengampuni yang lebih ringan dari itu bagi orang-orang yang Allah kehendaki.” (An-Nisa`:48)
Bila seseorang ingin menyembuhkan penyakitnya, menghindarkan gangguan setan atau jin, dengan cara mendatangi dukun, tukang sihir, atau paranormal, ini termasuk perbuatan dosa yang bisa mengeluarkannya dari Islam. Meminta jampi-jampi, mantera, jimat yang memuat tulisan nama-nama setan atau nama-nama yang tidak dikenal, lalu dibacakan kepada orang yang sakit dengan tujuan mencari kesembuhan, merupakan syirik kepada Allah I. Hendaknya seorang muslim melakukan ruqyah dengan cara yang disyariatkan, bukan dengan cara-cara yang mengandung kesyirikan kepada Allah I. Wallahul musta’an.
2. Memakai bahasa ‘ajam (non- Arab) dan kalimat-kalimat yang tidak bisa dipahami, kumpulan huruf tidak
Bermakna, huruf-huruf yang terpotong, atau yang semisalnya.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa ruqyah semacam ini merupakan hal terlarang, karena dikhawatirkan mengan-dung perbuatan syirik.
Berikut ini beberapa bentuk ruqyah yang menyimpang, kita nukilkan dari ucapan Asy-Syaikh Hafizh Al-Hakami t dalam kitabnya Ma’arijul Qabul (hal. 406-407 cet. Darul Hadits). Beliau berkata:
erasuki
jiwa mereka? Atau dusta apakah yang telah mereka perbuat?
Termasuk yang mereka sangka nama-nama Allah I namun sesungguhnya tak
terdapat dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, sementara merekapun
mengetahuinya dari selain keduanya, adalah sesuatu yang mereka pakai
untuk menyeru Nabi Adam, Nuh, Hud, atau para nabi yang selain mereka. Di
antaranya, sesuatu yang mereka katakan tak terdapat kecuali dalam
Ummul-Kitab, tertulis di Baitul Ma’mur, tertulis pada sayap malaikat
Jibril, Mikail, Israfil, atau sayap para malaikat yang lainnya.
Demikian
pula sesuatu yang mereka katakan tertulis pada pintu surga, dan lain
sebagainya. Duhai, kapankah mereka pernah menyaksi-kan Al-Lauhul Mahfuzh
dan menyalin darinya sesuatu yang mereka sangka itu? Kapankah mereka
pernah naik ke Baitul Ma’mur dan mereka membacanya di sana? Kapankah
para malaikat pernah memben-tangkan sayapnya kepada mereka dan mereka
melihatnya di sana? Kapankah mereka pernah menyaksikan pintu surga dan
mereka melihatnya di sana?
Ketika seseorang yang licik dan berlagak pintar ingin berbuat dusta atas
manusia dan melakukan tipu daya untuk memakan harta mereka, niscaya dia
akan mencari cara untuk sampai kepada tipu daya itu dan membuat pijakan
yang dipakai sebagai rujukannya. Jika dia memperoleh syubhat yang laris
di kalangan orang-orang yang lemah akalnya dan buta mata hatinya, maka
dia akan melakukannya. Jika tidak, maka dia akan berdusta kepada mereka
dengan kedustaan yang murni lalu bersum-pah dengan nama Allah I di
hadapan mereka bahwa dia termasuk seorang pemberi nasehat. Akhirnya
orang-orang pun membenarkan karena berbaik sangka kepadanya.
Di antaranya, nama-nama yang mereka seru, yang terkadang mereka klaim
sebagai nama-nama malaikat dan terka-dang mereka anggap sebagai
nama-nama setan. Mereka meyakini bahwa nama-nama ini sebagai khadam
(pelayan) surat ini atau ayat ini (dari Al-Qur`an). Terkadang mereka
meyakini pula bahwa nama ini termasuk nama-nama Allah I. Mereka
memanggil, ‘Wahai khadam, surat demikian, ayat demikian, atau nama
demikian.’ ‘Wahai fulan bin fulan, fulan bin fulan, kabulkanlah,
kabulkanlah, wahai Al-‘Ijl, Al-‘Ijl,’ atau panggilan yang semacam itu.
Tak ada sebuah surat, ayat Al-Qur`an, atau sebuah nama dari nama-nama
Allah I melainkan mereka buatkan satu khadam dan mereka seru untuknya.
Betapa jelek kedustaan yang mereka lakukan.
Terkadang mereka menulis sebuah surat atau ayat secara berulang-ulang
dalam bentuk yang beraneka ragam. Mereka menjadikan bagian awal sebagai
akhirnya dan akhirnya menjadi awal, pertengahan sebagai awalnya pada
sebuah tempat dan sebagai akhirnya pada tempat yang lain. Terkadang
mereka menulisnya dengan huruf yang terputus-putus. Setiap huruf ditulis
sendiri-sendiri.
Mereka menyangka bahwa huruf-huruf itu dengan kondisi ini memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kondisi-kondisi huruf yang
lainnya. Aku tidak tahu dari mana mereka mengambil dan menukilkannya.
Tidaklah yang demikian melainkan bisikan-bisikan setan yang telah mereka
hiasi, khurafat-khurafat sesat yang telah mereka biasakan, dan beragam
kedustaan yang telah mereka hubung-hubungkan di mana Allah I tidak
menurunkan keterangan padanya. Yang demikian itu diketahui tidak
memiliki dasar hukum baik dari Al-Qur`an maupun sAs-Sunnah. Tidak pula
pernah dinukilkan dari seorang ahli agama dan iman. Mereka itu hanyalah
para pendusta yang membuat tipu daya. Niscaya mereka akan dibalas sesuai
dengan perbuatan mereka.
Terkadang mereka menulis rumus-rumus dari bilangan-bilangan Arab yang
dikenal. Mulai dari satuan, puluhan, ratusan, ribuan, dan yang
selainnya. Mereka menganggapnya sebagai rumus-rumus yang menyampaikan
kepada huruf-huruf ayat, surat, nama tertentu, atau sesuatu dari perkara
yang telah kita kemukakan tadi sesuai dengan huruf-huruf abjad yang
dikenal di kalangan Arab.
Banyak lagi khurafat-khurafat batil dan kedustaan-kedustaan palsu yang
mereka buat. Mayoritasnya mereka ambil dari umat yang telah dimurkai,
yang mengambil dan mempelajari sihir dari para setan. Setelah itu mereka
susupkan kepada para pemeluk Islam dengan dalih bahwa itu dari
Al-Qur`an, As-Sunnah, atau nama Allah I.
Hanya saja mereka mengubah lafadz-lafadznya dan mereka terjemahkan ke
dalam bahasa selain Arab, demi tujuan-tujuan yang menurut mereka tidak
akan tercapai kecuali dengan cara ini. Di antara umat yang telah
dimurkai itu terdapat para penyembah malaikat, setan, atau yang sejenis
mereka. Mereka ambil nama-nama malaikat atau setan, lalu mereka katakan
kepada orang-orang bodoh bahwa itu adalah nama-nama Allah I agar mereka
bisa melariskan perbuatan syirik di antara orang-orang bodoh tersebut,
sehingga mereka memanggil selain Allah I. Ini adalah perbuatan makar
yang tidak mampu dilakukan oleh iblis kecuali dengan perantara
orang-orang sesat ini. Adapun iblis, sebagaimana firman Allah I:
“Sesungguhnya dia hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Sedangkan Allah I berfirman:
“Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan
kepadamu Al Kitab (Al-Qur`an) sedangkan dia dibacakan kepada mereka?
Sesungguhnya dalam (Al-Qur`an) itu terdapat rahmat yang besar dan
pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (Al-’Ankabut: 51)
“Dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (An-Nur: 40)
3. Mendatangi dukun, tukang sihir, paranormal, dan peramal
Di antara praktek ruqyah menyimpang yaitu mendatangi dukun, tukang
sihir, paranormal, dan peramal untuk meminta penyembuhan penyakit atau
mengatasi kerasukan jin. Dalam hal ini, Rasulullah n telah melarang kaum
muslimin untuk mendatangi mereka.
Shahabat Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami z berkata: Aku bertanya: ‘Ya
Rasulullah, ada beberapa perkara yang dahulu kami melakukannya di masa
jahiliyah. Dahulu kami mendatangi para dukun.’ Beliau menjawab:
“Janganlah kalian mendatangi para dukun.” (HR. Muslim)
Ini larangan dari Rasulullah n. Tentunya sangat disayangkan bila
sebagian kaum muslimin melakukan perbuatan ini: Jika mereka ditimpa
penyakit, kerasukan jin, atau gangguan setan lainnya, mereka bersegera
datang kepada para dukun untuk meminta jampi-jampi maupun bacaan ruqyah.
Mereka ingin mencari kesembuhan dengan cara yang tidak disyariatkan
oleh Allah I bahkan dilarang dalam agama-Nya.
Ketahuilah, bahwa para dukun, tukang sihir, paranormal, dan peramal yang
memberikan jampi-jampi, ruqyah, pengobatan alternatif, dan memberitakan
perkara-perkara ghaib, mereka ingin melakukan pengkaburan terhadap kaum
muslimin, atas nama penyembuhan, terapi alternatif, dan sebagainya.
Padahal mereka berambisi memakan harta manusia dengan cara yang batil
dan melanggar syariat Allah I. Mereka bukan wali-wali Allah I tetapi
wali-wali setan.
Oleh karena itu, Allah I mengisyaratkan dalam
firman-Nya:
“Maukah Aku beritakan kepada kalian, kepada siapa setan-setan itu
turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa.”
(Asy-Syu’ara`: 221-222)
Ibnu Katsir t menyatakan: “Allah I mengajak bicara kaum musyrikin yang
menyangka bahwa yang dibawa Rasulullah n tidak haq karena beliau
mengada-adakan sendiri atau beliau didatangi oleh jin yang menampakkan
diri. Maka Allah I bersihkan nama beliau dari ucapan dan kedustaan
mereka. Allah I mengingatkan bahwa yang beliau bawa berasal dari sisi
Allah I, diturunkan oleh Allah I, diwahyukan oleh Allah I, dan
disampaikan oleh malaikat yang mulia, terpercaya dan agung. Bukan dari
kalangan setan, sebab mereka tak punya motivasi terhadap kitab suci
seperti Al-Qur`an yang agung ini. Sesungguhnya para setan itu turun atas
orang-orang yang menyamai dan serupa dengan mereka dari kalangan para
dukun yang pendusta. Oleh karena ini, Allah I berfirman:
“Maukah Aku beritakan kepada kalian, kepada siapa setan-setan itu
turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa.”
(Asy-Syu’ara`: 221-222)
Sedangkan yang dimaksud dengan al-affaak adalah al-kadzuub (pen-dusta)
pada ucapannya dan yang dimaksud dengan al-atsiim adalah al-faajir
(penjahat) pada perbuatannya. Kepada mereka inilah setan turun. Mereka
itu adalah para dukun dan pendusta serta orang-orang fasik yang sejalan
dengan para setan itu.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/469-470 cet.
Maktabah Darul Faiha` dan Darus Salam)
Aisyah x berkata (yang artinya):
Beberapa orang pernah bertanya kepada Rasulullah n tentang para dukun.
Beliau n menjawab: “Ini sesuatu yang tidak diperbolehkan.” Mereka
mengatakan: “Sesungguhnya mereka terkadang meng-ucapkan kepada kami
sesuatu dan ternyata benar.” Rasulullah n pun bersabda: “Itu adalah
kalimat benar yang disambar oleh jin lalu diberitakannya pada telinga
walinya. Maka mereka mencampurkan bersamanya seratus kedustaan.” (HR.
Al-Bukhari)
Oleh karena itu, barangsiapa mendatangi para dukun, tukang sihir,
paranormal, atau peramal maka dia terancam dengan beberapa hal yang
telah disebutkan pada hadits-hadits berikut. Rasulullah n bersabda:
“Barangsiapa mendatangi ‘arraf (peramal) lalu bertanya tentang
sesuatu maka tidak diterima shalatnya selama 40 malam.” (HR. Muslim)
Bila orang yang bertanya kepada peramal tidak diterima shalatnya selama 40 hari, maka bagaimana dengan peramal yang ditanya?
Yang lebih parah, jika dia tidak hanya sekedar bertanya bahkan
membe-narkan ucapan dukun atau pera-mal itu. Abu Hurairah dan Al-Hasan
(cucu Rasu-lullah n) c meriwayatkan dari Nabi n bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa mendatangi dukun atau peramal, lalu dia membenarkan
ucapannya berarti dia telah kafir terhadap ajaran yang diturunkan kepada
Muhammad n.”
Inilah ancaman bagi orang yang bertanya kepada para dukun atau peramal dan membenarkan ucapan mereka. Na’udzu billah min dzalik.
“Maka tak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)
Oleh karena itu tidak boleh meminta ruqyah dari para dukun, tukang
sihir, para-normal atau peramal untuk penyembuhan suatu penyakit atau
gangguan lainnya. Ini hanya akan membawa kerugian dan bukan
keberuntungan.
Jika mereka sembuh setelah ‘berdukun’, maka kesembuhan itu datang dengan
seizin Allah I, bukan karena kehebatan si dukun. Itupun setelah mereka
mengorbankan agama mereka, yang tentunya jauh lebih berharga bila mereka
mengetahui. Hal ini perlu diyakini oleh kaum muslimin agar mereka tidak
terpedaya dengan kesembuhan yang didapatkan melalui dukun setelah
mereka mengorban-kan sesuatu yang lebih berharga, yaitu agama mereka.”
(Lihat Ahkam Ar-Ruqa wat Tama`im, hal. 181-183)
4. Menggunakan jin dalam meruqyah
Hal ini dilakukan oleh sebagian peruqyah. Mereka menganggap bahwa
meminta tolong kepada jin adalah hal yang diperbolehkan. Alasannya, jin
bisa mem-bantu mendiagnosa jenis penyakit yang tengah diderita orang
yang diruqyah, apakah terkena ‘ain (pengaruh sorotan mata yang jahat),
sihir, atau kemungkinan yang lainnya. Padahal hukum asal meminta tolong
kepada jin adalah dilarang. Hanya saja sebagian ulama membolehkannya
bila seorang jin menampakkan dirinya kepada seorang muslim dan
menawarkan diri untuk menolongnya. Namun tidak sepantasnya hal ini
dipakai ketika melakukan ruqyah, karena keadaannya berbeda.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t,, Nabi n memiliki dua kondisi dalam berhubungan dengan jin.
Yang pertama, dalam rangka memerin-tahkan kepada yang ma’ruf dan
melarang dari yang mungkar. Karena jin sama seperti manusia harus
mengikuti syariat Islam.
Yang kedua, berlindung dari keburukan setan-setan jin. Beliau
menggunakan ruqyah yang disyariatkan untuk menolak segala keburukan
mereka. Adapun meminta tolong kepada jin, khususnya dalam masalah
ruqyah, bukanlah merupakan petunjuk Nabi n maupun para shahabatnya.
Sebagian ulama membolehkannya hanya dalam kondisi tertentu, tidak pada
semua kondisi.
Oleh karena itu, seharusnya seorang peruqyah meningg
lkan perbuatan
meminta tolong kepada jin. Karena ini merupakan sarana yang akan
menyampaikan kepada perbuatan syirik kepada Allah I.
Meminta tolong atau mengambil berita dari jin sangat bergantung kepada
kondisi mereka yang adil dan bisa dipercaya. Sementara kedua perkara ini
tidak mungkin diketahui pada diri jin, walaupun dia biasa membantu
seorang manusia. Karena jin adalah makhluk yang tidak bisa dilihat oleh
manusia. Sehingga keadilan dan kondisinya yang bisa dipercaya tetap
majhul (tidak diketahui) dan perlu dipertanyakan.
Inilah sebab para ulama hadits dalam kitab-kitab mushthalah menyebutkan
bahwa riwayat jin yang muslim adalah lemah. Karena keshahihan riwayat
tergantung kepada keadilan dan kondisi jin yang bisa dipercaya. Padahal
jalan untuk mengetahui-nya secara benar tertutup dengan rapat.
Demikian pula, jin bisa saja membuat keonaran dengan mengadu domba atau
melemparkan tuduhan yang tidak benar sehingga memunculkan permusuhan dan
pertikaian di antara manusia. Oleh karena itu, mengambil bantuan jin
dalam meruqyah seharusnya ditinggalkan. (Lihat transkrip ceramah
Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh hal. 9)
5. Banyak berdialog dengan jin
Hal ini lebih baik ditinggalkan. Rasulullah n dan para salaf tidak
pernah mencontohkan yang demikian dalam meruqyah. Hanya orang-orang
belakangan yang melakukannya. Berdialog dengan jin ketika meruqyah akan
melalaikan dari ruqyah itu sendiri. Lagipula, perbuatan ini tidak
membawa manfaat yang nyata bagi yang diruqyah. Semestinya peruqyah
berupaya sesegera mungkin mengusir jin yang merasuki pasiennya dengan
ruqyah syar’i dan tidak berlambat-lambat.
Berdialog dengan jin tentunya akan menunda kesembuhan bagi yang dirasuki
jin itu. Tentunya sikap tidak berdialog dengan jin merupakan bentuk
kasih sayang kepada orang yang kerasukan. Sebab ketika jin diajak
berdialog, dia akan menggunakan fisik orang yang kemasukan. Sehingga
tatkala ruqyah selesai dilakukan, orang itu terlihat sangat letih karena
tubuhnya dipakai oleh jin untuk melayani acara dialog yang digelar oleh
si peruqyah. Sesungguhnya dialog yang dilakukan bersama jin cenderung
sia-sia, karena ucapannya tidak bisa dipegang mentah-mentah.
Pemberitaan jin tentang identitas diri, komunitas, dan ke-Islamannya
serta berbagai hal lainnya adalah perkara yang tidak bisa dipastikan
kebenarannya. Manusia tidak bisa mengetahui keberadaan dan kondisi jin
yang sesungguhnya. Oleh karena itu, bagaimana kita bisa membenar-kan
ucapannya?
Sebagaimana yang telah lalu bahwa para ulama hadits melemahkan
periwayatan jin muslim karena kebenarannya tidak bisa diteliti dan
dibuktikan. Tentu penyebabnya adalah keberadaan jin sebagai makhluk
ghaib. Bahkan Rasulullah n mengatakan kepada Abu Hurairah z yang
berhasil menangkap setan jin yang biasa mencuri kurma zakat:
“Dia jujur kepadamu padahal dia seorang pendusta.” (HR. Al-Bukhari)
Hadits ini menunjukkan bahwa kebiasaannya adalah berdusta. Kejujuran-nya
tidak diketahui kecuali setelah diberitakan Rasulullah n. Yang jelas,
manusia tidak bisa mengetahui kebenaran jin, baik sedikit ataupun
banyak. Karena itu, hendaknya seorang peruqyah meninggalkan berdialog
dengan jin yang sedang merasuki tubuh pasiennya, kecuali bila memang
sangat dibutuhkan. Dalam kondisi yang sangat dibutuhkan dia berdialog
dengan jin itu seperlunya dan tidak melebihi kebutuhan. Setiap kebutuhan
diukur dengan kadarnya dan tidak lebih dari itu. Wallahu a’lam.
Selanjutnya, marilah kita simak perkataan Asy-Syaikh Al-Albani t: “Di
sisi lain, aku sangat mengingkari orang-orang yang mencuri kesempatan
dalam keyakinan ini (keyakinan bahwa jin bisa masuk ke dalam tubuh
manusia), dengan menjadikan penghadiran jin dan acara berdialog dengan
jin sebagai rutinitas untuk mengobati orang-orang yang gila atau
kemasukan. Mereka menjadikan hal itu sebagai sarana tambahan, di
samping membaca Al-Qur`an semata. Perkara ini termasuk hal yang Allah
tidak turunkan kekuasaan padanya. Juga pemukulan yang keras (ketika
melakukan ruqyah) yang terkadang menimbulkan kematian bagi orang yang
kerasukan, sebagaimana hal ini terjadi di sini (Amman, Yordania), juga
di Mesir. Sehingga peristiwa ini menjadi headline di surat-surat kabar
dan berbagai majelis.
Dahulu, orang yang menangani pembacaan Al-Qur`an terhadap orang yang
kerasukan hanyalah segelintir orang shalih saja. Namun hari ini,
jumlahnya sampai ratusan. Bahkan ada di antaranya wanita yang bersolek
dengan cara jahiliyyah. Sehingga perkara ini telah keluar dari
kedudukannya sebagai wasilah yang syar’i, yang semestinya hanya
dilakukan oleh para dokter. Perkara ini berubah menjadi perkara dan
sarana lain yang tidak dikenal, baik oleh syariat ataupun kedokteran.
Hal ini –menurutku– adalah suatu jenis kedustaan dan bisikan yang
diilhamkan setan kepada musuhnya.
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
setan-setan(dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka
membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang
indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)
Hal ini juga termasuk mengambil perlindungan kepada jin yang dahulu
dilakukan kaum musyrikin di masa jahiliyah, sebagaimana firman Allah:
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia
meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka
jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Al-Jin: 6)
Sehingga barangsiapa yang mengambil bantuan mereka untuk menghilangkan
pengaruh sihir –dalam anggapan mereka– atau mengetahui identitas jin
yang merasuki tubuh manusia, apakah laki-laki atau wanita, muslim atau
kafir, lalu dibenarkan oleh orang yang meminta bantuannya dan dibenarkan
pula oleh orang-orang yang hadir di sisinya, mereka semua tercakup
dalam ancaman Rasulullah n:
“Barangsiapa yang mendatangi seorang dukun lalu membenarkan
ucapannya, berarti dia telah kafir terhadap perkara yang diturunkan
kepada Muhammad.”
Dalam hadits yang lain:
“…tidak akan diterima shalatnya selama 40 malam.”
Sehingga sepantasnya perkara ini diperhatikan. Yang aku ketahui,
kebanyakan orang yang disibukkan dengan rutinitas ini adalah orang-orang
yang lalai tentang hal ini. Aku menasehati mereka bila tetap bersikeras
melanjutkan rutinitas mereka, agar tidak berdialog melebihi ucapan Nabi
n:
“Keluarlah wahai musuh Allah.”
Ini untuk mengingatkan mereka (yang melakukan rutinitas ini) dengan firman Allah:
“Hendaklah orang-orang yang menya-lahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Allah-lah tempat meminta perto-longan, wala haula wala quwwata illa billah. (Ash-Shahihah no. 2918, hal. 1009-1010)
Dan sebenarnya di sana ada sebagian ulama yagn membolehkan berdialog
dengan jin. Namun apabila hal itu tidak dibutuhkan maka lebih baik
ditinggalkan. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah .
6. Menggunakan ruqyah yang melampui batas
Sebagian orang berijtihad untuk membuat bacaan ruqyah sendiri dan tidak
mengambil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, lalu menyusupkan ke dalamnya
kalimat-kalimat yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah,
mendoakan keburukan bagi pihak-pihak yang tak bersalah. Ini adalah
perbuatan aniaya kepada orang lain. Padahal Allah I telah mengharamkan
kedzaliman di antara manusia bahkan bagi diri-Nya sendiri, sebagaimana
disebutkan dalam banyak ayat Al-Qur`an dan hadits Nabi. Di antaranya
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar Al-Ghifari z dan dikeluarkan oleh
Al-Imam Muslim. Rasulullah n bersabda:
“Allah berfirman: ‘Aku telah mengha-ramkan kedzaliman atas diri-Ku,
dan Aku menjadikannya di antara kalian sebagai sesuatu yang diharamkan.
Maka janganlah kalian saling mendzalimi’.” (HR. Muslim)
7. Bermudah-mudahan dalam meruqyah sehingga tidak sesuai dengan tuntunan syariat
Yang dimaksud di sini yaitu sebagian peruqyah melakukannya dengan
seenaknya dan sekenanya. Tidak mengikuti tata cara yang telah digariskan
syariat, karena banyaknya pasien dan keterbatasan waktu. Misalnya
dengan membuat cincin-cincin yang telah ditulis padanya ayat-ayat
Al-Qur`an. Kemudian distempelkan di atas selembar kertas atau daun, lalu
diberikan kepada pasiennya. Lalu mereka menyimpan atau menggantungkan
lembaran kertas atau daun itu, dengan keyakinan bahwa hal tiu bisa
menyembuhkan atau mencegah penyakit.
Hal ini, di samping akan membawa kepada keyakinan yang batil, juga akan
berujung pada penghinaan terhadap ayat-ayat Al-Qur`an. Sehingga cara ini
jelas merupakan tuntunan yang keliru dan menyelisihi syariat dalam
praktek ruqyah. Karena menghinakan Al-Qur`an merupakan perkara yang
diharamkan.
8. Membedakan bacaan ruqyah sesuai dengan pesanan pasien
Maksudnya, ada bacaan yang biasa, ada bacaan yang disebut dengan bacaan
inti, ada pula yang disebut bacaan raja. Tentunya tarif yang dikenakan
pada masing-masing bacaan ini berbeda. Ini termasuk memakan harta
manusia dengan cara yang batil dan menyelisihi ruqyah yang disyariatkan.
Karena dalam meruqyah tidak dibedakan antara satu bacaan dengan yang
lainnya.
Ruqyah bertujuan untuk membantu dan memberi manfaat kepada
orang lain, bukan untuk memakan harta manusia dengan cara yang batil.
Ini merupakan ruqyah yang menyimpang dan seharusnya dihindarkan oleh
kaum muslimin. Allah I berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan
harta sesama kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian. Dan
janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepada kalian.” (An-Nisa`: 29)
9. Memukul, mencekik, atau yang semacamnya ketika meruqyah
Semua ini tidak dicontohkan oleh Rasulullah n maupun salafush shalih.
Memang diriwayatkan bahwa sebagian ulama melakukan hal itu ketika
meruqyah. Namun hal ini sekedarnya saja, dan tidak menjadi kebiasaan
atau bagian aktivitas dalam ruqyah. Apalagi jika dilakukan dengan cara
yang keras dan kasar sehingga menyakiti pasiennya. Ini jelas merupakan
kedzaliman yang dilarang oleh Allah I. Bahkan Rasulullah n terkadang
hanya menyebutkan:
“Keluarlah wahai musuh Allah.”
Hanya dengan demikian, orang yang kemasukan jin sembuh dari penyakitnya.
10. Melecehkan sebagian syiar Islam
Termasuk dalam perkara ini adalah meruqyah menggunakan mushaf Al-Qur`an
tanpa membaca isinya. Di sini terdapat praktek lain yang melanggar
syariat Allah I atau mengandung penghinaan terhadap syiar Islam. Hal ini
termasuk praktek ruqyah yang menyimpang.
11. Menjadikan ruqyah sebagai profesi atau mata pencaharian
Ini adalah penyimpangan dalam praktek ruqyah karena tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah n, para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut
tabi’in. Yang diamalkan oleh para salaf dan diajarkan oleh As-Sunnah
bahwa seseorang meruqyah saudaranya, baik dengan upah atau tidak untuk
memberi kemanfaatan bagi saudara-nya.
Namun mereka tidak menjadikan
amalan ruqyah sebagai profesi layaknya seorang dokter. Sungguh yang
demikian itu hanya muncul dari orang-orang yang datang belakangan.
Padahal di masa salaf juga banyak orang yang membutuhkan ruqyah. Ketika
mereka tidak melakukannya, berarti meninggalkannya merupakan kebaikan.
Sebaik-baik petunjuk adalah mengikuti jejak salaf.
Asy-Syaikh ‘Ali bin Nashir Al-Faqihi berkomentar tentang hal ini sebagai berikut:
“Barangkali seseorang akan bertanya-tanya, ‘Apakah di masa lampau ada
seorang ulama salaf yang baik, yang berprofesi sebagai peruqyah baik
secara gratis atau dengan mengambil upah, karena hal itu diperbolehkan?’
Aku tidak mengira bahwa ada seseorang yang bisa menetapkan hal itu.
Sungguh dahulu bila seseorang datang dan meminta ruqyah dari para ulama
dan orang-orang baik serta bertakwa, mereka meruq-yahnya dengan
ruqyah-ruqyah yang disya-riatkan lalu selesai urusannya. Sebagian
manusia telah menyimpang dari manhaj salaf yang baik dalam perkara ini.
Seperti yang kita lihat pada hari ini di mana telah dibuka berbagai
klinik (atau yang bisa disamakan dengan klinik, red.) yang berorientasi
bisnis disertai iklan bahwa kliniknya memiliki ‘pakar-pakar’ yang
menangani secara khusus ruqyah syar’i (yang dimaksud beliau adalah
ruqyah center yang sekarang sedang menjamur di mana-mana, pen.).
Sementara yang selain mereka dianggap tidak bisa memberi kemanfaatan
kepada manusia (dengan ruqyah itu). Padahal ruqyah tidaklah terbatas
pada orang-orang tertentu saja. Sepantasnya klinik-klinik ini ditutup.
Hendaknya imam-imam masjid diarahkan agar mereka menerangkan dalam
khutbah dan pelajaran-pelajaran mereka tentang ruqyah syar’i, dan
menerangkan pula bahwa ruqyah itu dengan membaca Al-Qur`an yang mulia
dan As-Sunnah yang shahih. Niscaya di setiap kota dan kampung akan
didapatkan orang yang bisa meruqyah dengan cara yang disyariatkan. Orang
yang bertakwa dan shalih adalah orang yang tepat untuk melakukan ruqyah
itu (tanpa menjadikannya sebagai profesi, pent.). Mereka itu
–alhamdulillah– ada di setiap pelosok negeri.
Demikian pula dianjurkan seorang muslim untuk menguatkan imannya,
tawakalnya, dan penyandaran dirinya kepada Allah I dalam seluruh
perkara. Demikianlah, kita memohon kepada Allah I niat yang baik dan
bimbingan-Nya bagi kita semua.” (Lihat Ahkam Ar-Ruqa wa At-Tama`im hal.
82)
12. Menjadikan ruqyah sebagai arena ikhtilath (campur baur antara
laki-laki dan wanita yang bukan mahram tanpa hijab) atau khalwat
(seorang lelaki berduaan dengan wanita yang bukan mahram, tanpa disertai
mahram si wanita)
Ini merupakan pelanggaran syariat yang nyata dalam praktek ruqyah yang
dilakukan oleh banyak pihak dari kaum muslimin. Padahal Islam telah
meng-haruskan para wanita untuk berhijab dari para lelaki yang bukan
mahramnya. Allah I berfirman:
“Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (para istri
Nabi), maka mintalah dari belakang hijab (tabir). Cara yang demikian
itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” (Al-Ahzab: 53)
Jika Allah I melarang para sahabat untuk meminta sesuatu kepada
istri-istri Nabi kecuali dari belakang hijab –padahal mereka adalah
orang-orang suci– dengan alasan untuk menyucikan hati-hati mereka,
bagaimana dengan yang selain mereka yang tidak suci sebagaimana mereka?
Semoga Allah I tidak membutakan hati-hati kita.
Islam juga melarang khalwat antara lelaki dan wanita yang bukan mahram tanpa kehadiran mahramnya.
Rasulullah n bersabda:
“Janganlah seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita
kecuali bila si wanita itu bersama mahramnya. Dan janganlah seorang
wanita bepergian jauh kecuali bersama mahramnya. Bangkitlah seorang
laki-laki dan bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku telah
keluar untuk pergi haji, sedangkan aku telah mendaftarkan diri untuk
ikut serta dalam peperangan ini dan itu? Beliau pun bersabda:
‘Berangkatlah dan hajilah bersama istrimu’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Banyak pula di antara peruqyah yang berhadapan langsung dengan pasien
wanitanya dalam jarak yang sangat dekat. Sehingga mereka meruqyah
sekaligus me-ru`yah (melihat) wanita yang bukan mah-ramnya dengan puas
dan tanpa sungkan-sungkan. Padahal Allah I berfirman:
“Katakanlah kepada kaum mukminin: ‘Hendaklah mereka menahan
pandangannya dan menjaga kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala yang mereka perbuat.’
Dan katakanlah kepada kaum mukminat: ‘Hendaklah mereka menahan
pandangannya dan menjaga kemaluannya’.” (An-Nur: 30-31)
Bahkan lebih dari itu, para wanita yang datang untuk diruqyah banyak
yang berpakaian dengan model yang tidak diperbolehkan dalam Islam karena
tidak menutup aurat secara sempurna. Pakaian mereka walaupun
sebagiannya dilengkapi dengan jilbab (gaul), tetapi lekukan tubuh mereka
masih kelihatan jelas. Mereka mengenakan jeans atau celana panjang dan
baju yang tidak lebar, bahkan ketat. Belum lagi warna pakaian mereka
yang norak dan menarik disertai bersolek ala jahiliyyah.
Dengan penampilan yang demikian, sebagian wanita itu bila diruqyah ada
yang tertawa, menangis, dan tergeletak dengan bentuk tubuh yang tampak
di hadapan laki-laki yang meruqyah. Banyak peruqyah memegang bagian
tubuh wanita yang diruqyah, walaupun dengan memakai sarung tangan tetapi
sentuhannya tetap saja dirasa oleh kedua belah pihak. Dengan bebas,
sang peruqyah memegang dan melihat wanita yang sedang menjadi pasiennya.
Bukankah ini pelanggaran yang nyata terhadap syariat? Apakah mereka
tidak takut pada Allah I ketika melakukan pelanggaran itu?
Jika mereka beralasan bahwa ini dilakukan dalam rangka pengobatan, maka
yang demikian tidaklah tepat. Karena ruqyah bisa dilakukan tanpa harus
melanggar ketentuan syariat Islam. Ruqyah bukanlah hujjah untuk
menghalalkan segala cara. Ruqyah adalah amalan yang disyariatkan, maka
semestinya dipraktekkan tanpa melanggar ketentuan-ketentuan syariat
lainnya.
Karena praktek ruqyah yang menyim-pang ini, banyak kaum lelaki dan
wanita yang terfitnah hati dan agamanya. Sebab mereka adalah keturunan
Nabi Adam dan Hawa yang memiliki ketertarikan terhadap lawan jenisnya.
Ambillah pelajaran wahai orang-orang yang berfikir. Wallahul Musta’an wa
‘alaihi tiklan.
13. Praktek ruqyah yang diabadi-kan dengan kamera, foto, dan gambar.
Ini merupakan praktek ruqyah yang melanggar syariat, walaupun dengan
alasan untuk pengajaran ruqyah, sosialisasi, penyebarluasan ruqyah
syar’i, atau alasan lainnya. Karena Rasulullah n telah memberitakan
bahwa di antara orang yang paling keras siksanya di hari kiamat nanti
adalah para penggambar.
Hal ini sebagaimana yang diriwayat-kan oleh Abdullah bin Mas’ud z, bahwa Rasulullah n bersabda:
“Sesungguhnya manusia yang paling keras adzabnya di sisi Allah pada
hari kiamat nanti adalah para penggambar.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar c, bahwa Rasulullah n bersabda:
“Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar-gambar ini diadzab di
hari kiamat nanti, dinyatakan kepada mereka: ‘Hidupkanlah apa yang telah
kalian ciptakan’.” (HR. Al-Bukhari)
Gambar tangan (manual) atau foto (digital) hukumnya sama yaitu haram.
Karena keduanya disebut sebagai gambar. Sedangkan Rasulullah n
menjatuhkan hukum yang satu pada segala gambar yang bernyawa sebagaimana
hadits di atas. Wallahu a’lam
Inilah beberapa praktek ruqyah yang menyimpang dan sering terjadi di
tengah kaum muslimin. Kami yakin masih banyak lagi penyimpangan praktek
ruqyah yang terjadi di kalangan mereka.
Semoga yang kami sebutkan cukup bagi mereka sebagai peringatan untuk
berhati-hati dari para peruqyah gadungan yang melanggar syariat Allah I.
Kami berharap kepada Allah I semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum
muslimin yang membacanya dengan harapan dapat meraih ilmu dan kebaikan
dunia dan akhirat.