Mengapa Kita Harus Mensucikan Jiwa?, pertanyaan yang menjadi judul materi ini, bisa jadi menggelitik nalar kita, atau bisa juga tidak sama sekali. Apa pun tanggapan kita, yang pasti bila kita berbicara masalah jiwa, maka sedikit sekali orang yang peduli. Hal ini disebabkan jiwa bersifat abstrak, sedangkan manusia makhluk material. Ia lebih merespon dan terangsang bila bersentuhan dengan masalah-masalah yang bersifat kebendaan. Namun patut dicatat, jiwalah yang menentukan siapa manusia sebenarnya saat ia berinteraksi dengan kehidupan dunia yang bersifat materialistik. Perasaan bahagia atau sengsara, senang atau gembira, pesimis atau optimis, semua beredar dan berputar pada tataran jiwa yang bersifat abstark tersebut.
Al-Qur’anul Karim lalu menggambarkan bahwa ada dua tipe manusia yang melakukan pekerjaan yang sama, namun karena berbeda dalam sikap jiwa, maka hasilnya berbeda. Yang pertama adalah manusia yang melakukan pekerjaannya dengan jiwa yang senang dan gembira, maka ia mendapatkan hasil yang baik. Adapun yang lain melakukan pekerjaannya dengan sikap marah dan enggan, maka hasilnya adalah keburukan dan kerugian. Sesungguhnya sikap jiwa seseorang sangat menentukan hasil perbuatan dan pekerjaan yang dilakukannya. Allah Ta’ala berfirman mengenai hal ini.
“Di antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah), sebagai suatu kerugian, dan dia menanti-nanti marabahaya menimpamu; merekalah yang akan ditimpa marabahaya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Di antara orang-orang Arab Badwi itu ada orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan memasukan mereka kedalam rahmat (surga)Nya; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (at-Taubah (9) : 98-99)
Pengertian Jiwa
Al-Qur’an menyebut jiwa dengan ungkapan “an-nafs”. Banyak pendapat dan pengertian yang diberikan para ulama mengenai ungkapan ini. Bila diringkas, maka setidaknya ada tiga pendapat.
Pertama, an-nafs bermakna roh yang menjadi rahasia hidup makhluk bernyawa, baik itu manusia maupun yang lainnya, dan hanya Allah saja yang mengetahui hakikatnya. Hal sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya.
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’” (al-Israa’ (17) : 85)
Banyak ayat lain dalam Al-Qur’an yang menggambarkan pengertian ini. Diantaranya adalah ayat yang menjelaskan keadaan sakratul maut orang-orang kafir. Malaikat memukuli mereka sambil menghardik dengan ungkapan, “Keluarkanlah rohmu”.
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata, ‘Telah diwahyukan kepada saya’, padahal tidak ada diwahyukan sesuatu pun kepadanya, dan orang yang berkata, ‘Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah’. Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), ‘Keluarkanlah nyawamu’. Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (al-An’aam (6) : 93)
Perkataan malaikat kepada orang yang zalim—sebagaimana dikatakan dalam ayat tersebut di atas, “Keluarkanlah nyawamu”, oleh Al-Qur’an diungkapkan dengan lafadz, “Akhriju-u anfusakum”. Anfus adalah jamak dari kata nafs, yang diterjemahkan dengan “Keluarkanlah nyawamu”.
Al-Iman ibn Abil ‘Iz dalam kitabnya, Syar-hut Thahawiyah, berkata, “Lafadz an-nafs bermakna jiwa atau roh, jika ia masih berada di dalam badan, dan berarti nyawa, jika ia sudah keluar dari badan.”
Kedua, an-nafs berarti kekuatan nalar dan rasio yang menjadi alasan dasar manusia terkena pembebanan tanggung jawab (taklif), yang dengan tanggung jawab itu ia mendapatkan balasan atau siksaan atas perbuatannya.
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang apat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman (31) : 34)
Dalam ayat ini, kata-kata tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok, dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati, diungkapkan Al-Qur’an dengan ‘wamaa tadrii nafsun maadza taksibu ghadan, wamaa tadrii nafsunbiaayi ardhin tamuutu’ .
Ketiga, lafadz an-nafs, juga bermakna manusia secara keseluruhannya, baik badan, roh, maupun kekuatan nalarnya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Luqman (31) : 28)
Mengapa Kita Mensucikan Jiwa?
Al-Qur’an menjelaskan penyebab pentingnya kita melakukan pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs), yaitu sebagai berikut.
Tazkiyatun nafs adalah salah satu misi diutusnya Nabi Muhammad saw.
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang Nyata.” (al-Jumu’ah (62) : 2)
Pembacaan dan pengajaran suatu ilmu belum akan bermanfaat sepenuhnya bila tidak diiringi dengan proses pembersihan jiwa. Kemanfaatan pengetahuan dan ilmu seseorang juga ditentukan oleh jiwanya, apakah ia bersih atau kotor. Jika jiwanya kotor, betapa pun tinggi ilmunya, justru bisa menjadi penyebab kerusakan dan kehancuran. Tidaklah keliru firman Allah mengenai hal ini.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Ruum (30) : 41)
“Dan bila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.’ Mereka menjawab,‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (al-Baqarah (2) : 11-12)
Sebaliknya, bila ilmu dipegang oleh orang yang berjiwa bersih, maka pastilah banyak kemaslahatan dan kemanfataan yang dilahirkannya. Darinya akan terpancar berbagai bentuk kebaikan dan kebajikan, terlebih jika ia adalah pimpinan bagi masyarakatnya. Ia akan melahirkan suatu kepemimpinan dimana segala yang makruf dan bermanfaat untuk manusia ditegakkan, dan segala yang buruk dan munkar dihancurkan, dan tidak diberikan sedikit pun peluang untuk muncul. Karena itulah, prasyarat yang harus tetap dipelihara dan dijaga oleh seseorang yang memangku jabatan tinggi—semisal pimpinan politik di suatu negeri, adalah harus tetap memelihara shalat, menunaikan zakat, memerintahkan yang makruf, dan mencegah yang munkar.
“yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (al-Hajj (22) : 41)
Jiwa manusia adalah tempat pertempuran yang kontinyu (all time confrontation); antara potensi fujur(kedurhakaan) dan taqwa (ketaatan); antara bisikan setan dan malaikat. Dengan demikian, setiap manusia, siapa pun juga dia adanya, pastilah mengalami problematika internal di dalam jiwanya. Hal ini dikarenakan setan yang menunggangi hawa nafsu buruknya senantiasa berusaha mengajak kepada kedurhakaan dan kesesatan.
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syam (91) : 7-10)
Dari Ibnu Mas’ud ra., Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya setan selalu memberikan bisikan pada anak Adam, begitu pula malaikat. Adapun bisikan setan (kepada manusia) mengajak untuk mengulangi perbuatan yang buruk dan mendustakan kebenaran, sedangkan bisikan malaikat mengajak untuk mengulangi perbuatan yang baik dan membenarkan kebenaran. Barangsiapa yang mendapati sesuatu di dalam dirinya (bisikan dari malaikat), maka sesungguhnya hal itu datangnya dari Allah, dan hendaknya dia memuji-Nya, dan siapa yang mendapati selain dari itu, maka hendaklah ia berlindung dari setan.” Kemudian, Rasulullah membacakan ayat ke-268 dari surah al-Baqarah.
“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui.”
Tazkiyatun nafs adalah poros kebahagiaan manusia. Sebab, rumah kebahagiaan tidak selalu bertumpu pada unsur kebendaan semata. Sejarah mencatat betapa banyaknya bangsa, suku, kaum, dan kabilah yang begitu kuat, hebat, serta megah peradabannya. Akan tetapi, tatkala mereka menjadikan materi sebagai tujuan dan meninggalkan aspek rohani sepenuhnya, maka mereka akhirnya hancur berantakan dan hanya menyisakan puing-puing kejayaannya saja.
“Dan berapa banyaknya umat-umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini, maka mereka (yang telah dibinasakan itu) telah pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)?” (Qaaf (50) : 36)
Kebahagiaan sesungguhnya berada pada hati. Hal itu tidak bisa dipungkiri siapa pun juga. Sebab, rasa dan merasakan adalah aspek abstrak berupa segala rasa suka, cita, senang, dan bahagia yang ada dan bergetar dalam jiwa seseorang. Aspek materi bisa jadi memberikan semua rasa itu pada hati, namun bukan semuanya. Betapa banyaknya orang yang sangat berkecukupan dalam hal materi, namun jiwanya merana, sengsara, dan frustasi. Oleh karena itu, kunci kebahagaian hati dan jiwa ada pada sejauh mana kedekatannya dengan Penciptanya, yaitu Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya.
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (ar-Ra’d (13) : 28)
Manusia yang bersih jiwanya disukai oleh Allah SWT.
“Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (at-Taubah (9) : 108)
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (al-Baqarah (2) : 222)
Tazkiyatun nafs adalah kunci sukses di akhirat.
Dalam kehiduan dunia ini, orang lebih cenderung melihat kesuksesan itu pada aspek materi. Berapa kekayaannya, dimana kerjanya, berapa gajinya, apa jabatannya, dimana tempat tinggalnya, apa olahraganya, merek apa baju, celana, sepatu, jas, dasi, parfum, jam tangannya, apa mobilnya dan berapa harganya, cantik atau jelek, ganteng atau buruk, apa gelarnya, dari keluarga yang bagaimana tingkat sosialnya, dan seterusnya. Semua pertanyaan itu tidak lebih dari sekedar pertanyaan materi. Semakin hebat seseorang, semakin ia dianggap sukses, padahal bisa jadi hati dan jiwanya kosong melompong, bak rumah tua yang sudah lama ditinggalkan oleh pemiliknya. Bila terus menerus seperti itu, kemudian ia mati dalam kekeringan jiwa dan ketiadaan iman, maka ia akan menyesal. Ia tidak punya satu-satunya kunci sukses di akhirat, yaitu kebersihan hati dan jiwa.
“Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”(asy-Syua’raa (26) : 87-89)
Tipikal Manusia dalam Mensucikan Jiwa
Tidak disangsikan lagi, bahwa hakikat manusia dan nilainya sangatlah ditentukan oleh hatinya. Sikap hati dan jiwanya, kebaikan dan keburukannya, kesolehan dan kedurhakaannya, ketaatan dan kemaksiatannya, akan menjadi penentu status manusia, baik di hadapan Allah maupun antarsesamanya. Allah SWT menjelaskan ada tiga nilai manusia di sepanjang kehidupan ini, yaitu orang-orang yang beriman, kafir, dan munafik. Dia mengkaitkan mereka dengan keadaan hati dan jiwanya masing-masing. Penjelasan mengenai hal ini ada di awal surah Al-Baqarah.
“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. Di antara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. ” (al-Baqarah (2) : 2-10)
Secara lebih khusus, dalam kaitannya dengan kesucian jiwa, ada tiga tipikal jiwa dan hati manusia, yaituan-nafsu al-muthmainnah (jiwa yang tenang), an-nafsu al-lawwamah (jiwa yang menyesal), dan an-nafsu al-amarah (jiwa yang menyuruh pada kejahatan). Allah SWT berfirman mengenai tiga tipikal jiwa ini.
Jiwa yang tenang“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam syurga-Ku.” (al-Fajr (89) : 27-30)
Jiwa yang menyesal
“Aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.” (al-Qiyamah (75) :1-4)
Mengenai jiwa yang menyuruh kepada kejahatan“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf (12) : 53)
Penutup
Untuk menuju jiwa yang bersih, ada beberapa langkah yang bisa dijalankan, diantaranya adalah sebagai berikut.
Beribadah kepada Allah secara ikhlas, dengan cara melaksanakan berbagai amalan wajib atau sunnah. Hal ini dilakukan dengan pengertian bahwa manfaatnya bukan untuk Allah, tetapi untuk dirinya sendiri. Banyak orang mengira tatkala ia melakukan satu perintah, semisal shalat atau infak, maka ia menganggap bahwa ibadah tersebut adalah untuk Allah. Maha Suci Allah, dari pengetian seperti itu. Dia adalah Dzat yang tidak memerlukan bantuan siapa pun, atau membutuhkan sesuatu. Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji, tidak butuh kepada makhluk, bahkan makhluklah yang membutuhkan-Nya. Ketika seseorang hendak beramal, lalu mengira bahwa amal itu adalah untuk Allah—sebab Allah membutuhkannya, tentulah manusia akan melakukan ibadahnya sekadarnya saja. Ia akan malas, sebab tabiat manusia itu bakhil, alias pelit. Ketika berbagai amalan dilakukan dengan setting jiwa seperti itu, maka dampaknya adalah ibadahnya hanya sekadar melepas kewajiban, dan akhirnya tidak sampai sebagai pembersih bagi jiwanya. Karena itu, pegertian tersebut harus dibalik. Manusialah yang mendapatkan kemanfaatan dari ibadahnya. Bahkan, dia dapat melakukan ibadah tersebut karena Allah sedang membersihkan jiwanya. Karena itu, jangan ada anggapan bahwa diri sudah bersih, sebab jika bukan karena Allah, maka tidak ada seorang pun yang mampu untuk membersihkan jiwanya.[1]
“…Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (an-Nuur (24) : 21)
Memperbanyak amalan sunnah baik itu shalat, puasa, infak, sedekah, dan lain sebagainya. Seseorang yang baru melaksanakan perintah-perintah wajib, sesungguhnya baru sekadar menggugurkan kewajiban tersebut, dan belum mendapat keuntungannya. Namun, bila dia melaksakan amalan-amalan sunnah, semisal shalat sunnah qabliyah dan ba’diyah, itulah keuntungannya. Selain itu, ibadah tersebut akan berdampak pada kejiwaannya yang semakin mantap, bersih, dan segar.
Senantiasa mengingat Allah SWT, baik dalam keadaan berdiri, duduk, atau pun berbaring; dalam keadaan sunyi atau pun ramai. Hal ini dikarenakan perintah mengingat Allah SWT tidak hanya ketika sedang melakukan shalat fardhu lima kali sehari, namun bahkan sesudahnya, sebagaimana disebutkan di bawah ini.
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (an-Nisaa (4) : 103)
Perintah mengingat Allah setelah melaksanakan shalat Jum’at
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (al-Jumu’ah (62) : 9-10)
Perintah mengingat Allah setelah menunaikan ibadah haji
“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu….” (al-Baqarah (2) : 200)
Perintah berdzikir dalam keadaan apa pun juga
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’” (Ali Imran (3) : 190-191)
Orang yang banyak mengingat Allah SWT akan mempunyai jiwa yang sehat, segar, dan bersemangat. Hati serta jiwanya hidup dan penuh bergelora dalam menghadapi hidup dan tantangannya. Sebaliknya, orang yang tidak mengingat Allah dan bakhil untuk melakukannya, hatinya akan menjadi sempit, jiwanya lesu dan lemah, dan akhirnya mati. Manusia mati ini terbawa arus dunia yang cenderung menyesatkannya. Rasulullah saw. memberi gambaran ini dalam sabdanya.
“Perumpamaan orang yang mengingat Tuhannya dan yang tidak pernah mengingat-Nya adalah seperti orang yang hidup dan mati.” [2]
Mentadaburkan Al-Qur’an, yakni membaca, mengkaji, memahami, dan menghayati serta berusaha untuk mengamalkan ayat-ayat Allah yang sifatnya tersurat (Al-Qur’anul Karim). Hal ini dikarenakan ada hubungan yang kuat antara hati manusia dengan tadabur, yaitu hati manusia terbuka untuk menerima hidayah dan petunjuk, seperti dinyatakan dalam firman Allah Ta’ala.
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad (47) : 24)
Peranan hati dalam kehidupan manusia sangat penting, karena hatilah yang akhirnya menentukan status pemiliknya: mukmin, kafir, atau munafik Namun, hati adalah sesuatu yang tidak pernah mapan dan ajeg. Ia senantiasa berubah-ubah. Inilah yang menyebabkan ia disebut hati atau qalbu. Fenomena perubahan hati ini sangat jelas terasa, yaitu melemahnya iman. Diantara indikasinya adalah suka melakukan dosa dan maksiat, memiliki hati yang keras dan kaku, malas beribadah, meremehkan ketaatan, jiwanya sempit, lupa kepada Allah, mendahului kehidupan dunia daripada akhirat, rasa pembelaan dan ghirahnya terhadap Islam lemah, bakhil dan materialis, serta melanggar larangan Allah saat sendirian.
Dengan senantiasa mentadaburkan Al-Qur’an, diharapkan hati dan jiwa manusia akan mendapatkan cahaya dan hidayah sehingga menjadi lembut dan sensitif terhadap kebaikan dan kebajikan. Namun sebaliknya, hati akan menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi, karena terbungkus oleh berbagai kotoran dosa dan maksiat. Hal ini menjadikan pemiliknya menjadi orang yang keras kepala, penentang, fasik, dan kufur kepada Penciptanya.
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al-Hadiid (57) : 16)
Memperbanyak zikrul maut, yaitu dengan senantiasa membayangkannya hingga lahirlah rasa was-was di dalam hatinya. Perasaan tersebut akan mendorong seseorang berbuat sebaik-baiknya dan waspada agar tidak tergelincir dalam pebuatan dosa dan maksiat. Sebab, ia menyadari datangnya kematian tidak diketahui, tetapi dia pasti datang. Sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya.
“Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (al-Jumu’ah (62) : 8)
Dengan senantiasa mengingat kematian, hati akan hidup dan jauh dari kecintaan yang berlebihan terhadap dunia dan kesenangannya. Hati akan menjadi zuhud, yakni lebih mendahului kepentingan dan kehidupan akhirat, sehingga ia menjadi orang yang selalu mempunyai respon yang tinggi terhadap seruan Allah SWT. Sebaliknya, orang yang merasa hidupnya masih panjang dan kematiannya masih jauh akan terpedaya oleh kesenangan hawa nafsu, serta enggan bertaubat dan taat pada rambu-rambu ajaran Allah SWT. Ketika akhirnya sakratul maut datang dan kematian sudah dihadapan matanya, barulah ia menyesal dan ingin beramal soleh, padahal sudah tiada kesempatan lagi baginya.
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata, “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang soleh?” Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (al-Munaafiquun (63) : 9-11)
Berkawan dengan orang-orang yang soleh. Mereka akan menularkan sifat-sifat kesolehannya kepada siapa pun yang ada di dekatnya, dan diantara sifat tersebut adalah kebersihan hati dan ketenangan jiwa. Sebab, seseorang yang walaupun pada awalnya tidak soleh, namun bila terus menerus berkawan dengan orang-orang yang soleh, lama kelamaan akan menjadi saloh. Karena itu, Rasulullah saw. mengatakan,“Seseorang itu tergantung agama temannya.” Dari sini jelaslah pengaruh teman dan lingkungan pada keadaan hati dan jiwa seseorang. Itulah sebabnya Al-Qur’an berpesan kepada kita agar senantiasa bersama orang-orang yang benar.
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (at-Taubah (9) : 119)
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Daftar Pustaka
Farid, Dr. Ahmad. Tazkiyatun Nafs wa Tarbiyatuha Kama Yuqorriruha Ulama’Salaf. Tahqiq: Majid bin Abi Allail. Beirut Libanon: Darul-Qalam, hlm. 45
Hawwa, Sa’id. Mensucikan Jiwa Konsep Tazkiyatun Nafs Terpadu. Ed. Terjemahan. Jakarta: Robbani Press
Qudamah, Ibnu. Muhtasor Minhajul Qasidin. Penerj. Muhammad Ahmad Dahma. Damaskus: Maktabah Dar Al-Bayan.
[1] . Dr. Ahmad Farid. Tazkiyatun Nafs wa Tarbiyatuha Kama Yuqorriruha Ulama’ Salaf. Beirut-Libanon: Darul-Qalam, hlm. 45
[2] HR. Bukhari dari Abi Mura al-Asy’ari. “Bab Da’awat” . Juz 11, hlm 208
http://almanar.co.id/takiyatun-nafs/mengapa-kita-harus-mensucikan-jiwa-tazkiyatun-nafs.html#