Di kalangan masyarakat awam, sering kita melihat tulisan yang disebut Rajah, Wafaq ataupun Isim. Setiap bentuk dan tulisan pada benda tersebut dipercaya mengandung kekuatan magis disertai amalan-amalan tertentu.
Lazimnya benda-benda ini disebut dengan Jimat atau Azimat. Ada yang dipakai dalam dompet, ikat pinggang ataupun rompi dengan harapan sebagai penglaris, karisma bahkan kekebalan. Salah satu kitab yang terkenal dan tersebar di dunia Islam adalah Syamsul Maarif karangan Ali al-Buni. Disamping itu ada juga kitabnya yang lain berjudul Mambaul Hikmah. Kitab yang saya teliti adalah Syamsul Maarif jilid 1 hal. 19 tercantum gambar azimat seperti di bawah ini:
Jika anda perhatikan
pada ring lingkaran yang saya beri nomor 1 tertulis nama-nama arab yang jika diterjemahkan akan masuk pada bidang Astrologi. Seperti contohnya, Asad yang artinya Singa / Leo, ‘Aqrab artinya Kalajengking / Scorpion, Mizan artinya Timbangan / Libra dan lain-lain:
Lalu pada ring lingkaran 2 tertulis nama-nama bulan Yahudi / Syria yang diadopsi perkumpulan rahasia/kebatinan Freemasonry seperti Elul, Tamudz, Tisyrin, Ab, Azar, Tsaubat / Tsabat, Yistan dan lain-lain:
Pertanyaannya sekarang, apakah kita diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk mempercayai Ramalan Bintang seperti Astrologi? Lalu mengapa pada ring kedua terdapat nama-nama bulan Yahudi / Syria yang ditulis dalam huruf Arab? Bukankah nama-nama bulan umat Islam adalah Muharram hingga Dzulhijjah? Ada maksud apa dibalik pencampuran kepercayaan Penyembah Bintang dengan Yahudi / Syria?
Maka wajar jika para Ulama Salaf maupun Khalaf melarang kita mengamalkan ilmu-ilmu seperti ini. Karena apapun niatnya, akan terjerumus pada keraguan dan kemusyrikan. Terlebih setelah kita meneliti bentuk azimat diatas.
Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhamul Islam bab Hadharah Islam menjelaskan tentang perbedaan Hadharah dan Madaniyah:
“Terdapat perbedaan antara Hadharah dan Madaniyah. Hadharah adalah sekumpulan mafahim (ide yang dianut dan mempunyai fakta) tentang kehidupan. Sedangkan Madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Hadharah bersifat khas, terkait dengan pandangan hidup. Sementara madaniyah bisa bersifat khas, bisa pula bersifat umum untuk seluruh manusia. Bentuk-bentuk madaniyah yang dihasilkan dari hadharah, seperti patung, termasuk madaniyah yang bersifat khas. Sedangkan bentuk-bentuk madaniyah yang menjadi produk kemajuan sains dan perkembangan teknologi/industri tergolong madaniyah yang bersifat umum, milik seluruh umat manusia.” (Peraturan Hidup dalam Islam, bab Hadharah Islam)
Jadi jelaslah bahwa ilmu perbintangan atau Astrologi merupakan hadharah kehidupan orang kafir. Lalu Azimat, Rajah maupun Wafaq adalah satu bentuk madaniyah khusus yang mempunyai kaitan dengan unsur di luar Islam.
Harap diketahui bahwa Ali al-Buni adalah seorang ahli hikmah asal Irak yang banyak meramu ilmu magis dengan menggunakan bahasa Arab. Walaupun Irak pernah menjadi mercusuar dunia Islam ketika Khilafah Bani Abbasiyah berjaya, namun negeri ini dahulunya adalah negeri Babilonia, sebuah kerajaan kafir Penyembah Bintang.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surah al-Baqarah 2:102
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil (Babilonia) yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Dan, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 102)
Faham Wihdatul Wujud atau Manunggaling Kawula Gusti juga pernah terkenal di wilayah ini dengan tokohnya yang tewas digantung karena mengaku dirinya Allah, Husein bin Manshur al-Hallaj. Muridnya pun pernah bercokol di Nusantara dan juga telah dibunuh oleh Wali Songo yaitu Syeikh Siti Jenar. Hingga sekarang pun Irak masih menjadi basis kedua setelah Iran bagi kaum Rafidhah, Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah.
Kembali ke permasalahan azimat, dalam Mitos Arab Jahiliyah mereka menyakini setiap huruf Arab (Hijaiyah) mempunyai nilai kekuatan pada setiap abjadnya. Pada kitab Mujarobat yang populer di Indonesia juga tercantum penjelasan seperti ini:
Dari kekuatan huruf tersebut dibuatlah beragam azimat dengan tujuan tertentu beserta amalan-amalan sebelum menuliskannya. Salah satu contohnya ada pada kitab Mujarobat tentang Zimat Penolak Semua Penyakit:
Ini Zimat tolak semua penyakit, sebelumnya supaya shalat dua rakaat, rakaat pertama sesudah Fatihah membaca surat al-Kafirun dan rakaat kedua sesudah Fatihah membaca surat al-Ikhlas.
Amalan dan praktik membuat zimat seperti diatas tidak akan kita jumpai dalam perjalanan hidup junjungan kita Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para Shahabat r.a. dalam kitab Sirah Nabawiyah. Jadi jelas bahwa hal seperti ini bukan berasal dari Islam walaupun diselingi dengan shalat dan huruf-huruf arab. Terlebih lagi dalam beramal menurut pandangan Islam harus memenuhi dua syarat:
1. Ikhlas kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
2. Mengikuti tuntunan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
Masih mengenai zimat, ternyata dalam Mitologi Yahudi kekuatan angka juga terdapat pada huruf Ibrani yang merupakan bahasa mereka. Selain itu diterapkan pada simbol kekuatan alam dan perbintangan:
Dalam buku Senjata Mukmin terjemah Syamsul Maarif karangan Miftahus Salim terbitan Ampel Mulia, Surabaya terdapat bahasan khasiat amalan zikir Asma Barhatiyah. Anehnya setiap penyebutan asma tersebut sangat janggal bagi bahasa Arab, contohnya:
بَرْهَيُوْلاً (Barhayuula) artinya: Maha Suci Allah, bukankah seharusnya: سُبْحَانَ اللهُ
حَوْطِيْرٍ(Hauthiiriin) artinya: Wahai Zat Yang Maha Kuat, bukankah seharus-
nya: يَاقَوِّيُّ (Yaa Qowwiyu)
غَلْمَشٍ (Ghalmasyin) artinya: Wahai Zat Yang Maha Terpuji, bukankah seharusnya: يَاعَزِيْزُ (Yaa Aziizu)
مَزْجَلٍ(Mazjalin) artinya: Wahai Zat Yang Maha Berdiri, bukankah seharus-
nya: يَاقَيُّوْمُ (Yaa Qayyuum) dan lain-lainnya.
Kesimpulannya, bahwa setiap perbuatan seorang Muslim harus terikat dengan Hukum Syara’. Jika kita mengambil sesuatu yang tidak ada tuntunan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam maka amaliyah dan ibadah kita akan tertolak. Wassalam.
Kiriman: Abu Daffa al-Mawardi.
http://www.akhirzaman.info/secret-societies/paganisme/2127-kitab-syamsul-maarif-dan-kejanggalannya.html