TEAM RUQYAH MOJOKERTO;
Ruqyah adalah bahasa
Arab yang berarti Doa.
Ruqyah adalah Seni
Penyembuhan dari segala macam penyakit baik fisik, psikis, gangguan makhluk
halus maupun serangan sihir yang telah diajarkan oleh Rasulullah Sholallau
‘Alaihi wassalam ( Seorang Nabi Utusan Tuhan Terahir di Muka Bumi ini). Selain
itu Ruqyah juga merupakan seni perlawanan, perlindungan dan pembentengan diri
dari segala macam mara bahaya yang bersifat fisik, maupun psikis.
Energi Ruqyah berasal
dari keberkahan dan mu’jizat bacaan ayat Suci Al-Qur’an dan Doa-doa Nabi
Muhammad SAW.
TATA CARA MERUQYAH (TEORITIS)
Ruqyah bukan pengobatan alternatif. Justru seharusnya menjadi pilihan pertama
pengobatan tatkala seorang muslim tertimpa penyakit. Sebagai sarana
penyembuhan, ruqyah tidak boleh diremehkan keberadaannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya meruqyah
termasuk amalan yang utama. Meruqyah termasuk kebiasaan para nabi dan
orang-orang shalih. Para nabi dan orang shalih senantiasa menangkis setan-setan
dari anak Adam dengan apa yang diperintahkan Allah dan RasulNya”. [1]
Karena demikian pentingnya penyembuhan dengan ruqyah ini, maka setiap kaum
Muslimin semestinya mengetahui tata cara yang benar, agar saat melakukan ruqyah
tidak menyimpang dari kaidah syar’i.
Tata cara meruqyah adalah sebagai berikut:
1. Keyakinan bahwa kesembuhan datang hanya dari Allah.
2. Ruqyah harus dengan Al Qur’an, hadits atau dengan nama dan sifat Allah,
dengan bahasa Arab atau bahasa yang dapat dipahami.
3. Mengikhlaskan niat dan menghadapkan diri kepada Allah saat membaca dan
berdoa.
4. Membaca Surat Al Fatihah dan meniup anggota tubuh yang sakit. Demikian juga
membaca surat Al Falaq, An Naas, Al Ikhlash, Al Kafirun. Dan seluruh Al Qur’an,
pada dasarnya dapat digunakan untuk meruqyah. Akan tetapi ayat-ayat yang
disebutkan dalil-dalilnya, tentu akan lebih berpengaruh.
5. Menghayati makna yang terkandung dalam bacaan Al Qur’an dan doa yang sedang
dibaca.
6. Orang yang meruqyah hendaknya memperdengarkan bacaan ruqyahnya, baik yang
berupa ayat Al Qur’an maupun doa-doa dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Supaya penderita belajar dan merasa nyaman bahwa ruqyah yang dibacakan sesuai
dengan syariat.
7. Meniup pada tubuh orang yang sakit di tengah-tengah pembacaan ruqyah.
Masalah ini, menurut Syaikh Al Utsaimin mengandung kelonggaran. Caranya, dengan
tiupan yang lembut tanpa keluar air ludah. ‘Aisyah pernah ditanya tentang
tiupan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam meruqyah. Ia menjawab: “Seperti
tiupan orang yang makan kismis, tidak ada air ludahnya (yang keluar)”. (HR
Muslim, kitab As Salam, 14/182). Atau tiupan tersebut disertai keluarnya
sedikit air ludah sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Alaqah bin Shahhar As
Salithi, tatkala ia meruqyah seseorang yang gila, ia mengatakan: “Maka aku
membacakan Al Fatihah padanya selama tiga hari, pagi dan sore. Setiap kali aku
menyelesaikannya, aku kumpulkan air liurku dan aku ludahkan. Dia seolah-olah
lepas dari sebuah ikatan”. [HR Abu Dawud, 4/3901 dan Al Fathu Ar Rabbani,
17/184].
8. Jika meniupkan ke dalam media yang berisi air atau lainnya, tidak masalah.
Untuk media yang paling baik ditiup adalah minyak zaitun. Disebutkan dalam
hadits Malik bin Rabi’ah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
كُلُوْا الزَيْتَ وَ ادَّهِنُوا بِهِ فَإنَهُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَة
"Makanlah minyak zaitun , dan olesi tubuh dengannya. Sebab ia berasal dari
tumbuhan yang penuh berkah".[2]
9. Mengusap orang yang sakit dengan tangan kanan. Ini berdasarkan hadits
‘Aisyah, ia berkata: “Rasulullah, tatkala dihadapkan pada seseorang yang
mengeluh kesakitan, Beliau mengusapnya dengan tangan kanan…”. [HR Muslim,
Syarah An Nawawi (14/180].
Imam An Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk mengusap orang
yang sakit dengan tangan kanan dan mendoakannya. Banyak riwayat yang shahih
tentang itu yang telah aku himpun dalam kitab Al Adzkar”. Dan menurut Syaikh Al
‘Utsaimin berkata, tindakan yang dilakukan sebagian orang saat meruqyah dengan
memegangi telapak tangan orang yang sakit atau anggota tubuh tertentu untuk
dibacakan kepadanya, (maka) tidak ada dasarnya sama sekali.
10. Bagi orang yang meruqyah diri sendiri, letakkan tangan di tempat yang
dikeluhkan seraya mengatakan بِسْمِ الله (Bismillah, 3 kali).
أعُوذُ بِالله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَر مَا أجِدُ وَ أحَاذِرُ
"Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaanNya dari setiap kejelekan yang
aku jumpai dan aku takuti".[3]
Dalam riwayat lain disebutkan “Dalam setiap usapan”. Doa tersebut diulangi
sampai tujuh kali.
Atau membaca :
بِسْمِ الله أعُوذُ بِعزَِّةِ الله وَ قُدْرَتِهِ مِنْ شَر مَا أجِدُ مِنْ
وَجْعِيْ هَذَا
"Aku berlindung kepada keperkasaan Allah dan kekuasaanNya dari setiap
kejelekan yang aku jumpai dari rasa sakitku ini".[4]
Apabila rasa sakit terdapat di seluruh tubuh, caranya dengan meniup dua telapak
tangan dan mengusapkan ke wajah si sakit dengan keduanya.[5]
11. Bila penyakit terdapat di salah satu bagian tubuh, kepala, kaki atau tangan
misalnya, maka dibacakan pada tempat tersebut. Disebutkan dalam hadits Muhammad
bin Hathib Al Jumahi dari ibunya, Ummu Jamil binti Al Jalal, ia berkata: Aku
datang bersamamu dari Habasyah. Tatkala engkau telah sampai di Madinah semalam
atau dua malam, aku hendak memasak untukmu, tetapi kayu bakar habis. Aku pun
keluar untuk mencarinya. Kemudian bejana tersentuh tanganku dan berguling
menimpa lenganmu. Maka aku membawamu ke hadapan Nabi. Aku berkata:
“Kupertaruhkan engkau dengan ayah dan ibuku, wahai Rasulullah, ini Muhammad bin
Hathib”. Beliau meludah di mulutmu dan mengusap kepalamu serta mendoakanmu.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam masih meludahi kedua tanganmu seraya
membaca doa:
أَذْهِبْ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا
شِفَاؤُكَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
"Hilangkan penyakit ini wahai Penguasa manusia. Sembuhkanlah, Engkau Maha
Penyembuh. Tidak ada kesembuhan kecuali penyembuhanMu, obat yang tidak
meninggalkan penyakit"[6].
Dia (Ummu Jamil) berkata: “Tidaklah aku berdiri bersamamu dari sisi Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam, kecuali tanganmu telah sembuh”.
12. Apabila penyakit berada di sekujur badan, atau lokasinya tidak jelas,
seperti gila, dada sempit atau keluhan pada mata, maka cara mengobatinya dengan
membacakan ruqyah di hadapan penderita. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa
Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam meruqyah orang yang mengeluhkan rasa sakit.
Disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah, dari Ubay bin K’ab , ia berkata: “Dia
bergegas untuk membawanya dan mendudukkannya di hadapan Beliau Shallallahu
'alaihi wa salla,m . Maka aku mendengar Beliau membentenginya (ta’widz) dengan
surat Al Fatihah”.[7]
Apakah ruqyah hanya berlaku untuk penyakit-penyakit yang disebutkan dalam nash
atau penyakit secara umum? Dalam hadits-hadits yang membicarakan terapi ruqyah,
penyakit yang disinggung adalah pengaruh mata yang jahat (‘ain), penyebaran
bisa racun (humah) dan penyakit namlah (humah). Berkaitan dengan masalah ini,
Imam An Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim: “Maksudnya, ruqyah bukan
berarti hanya dibolehkan pada tiga penyakit tersebut. Namun maksudnya bahwa
Beliau ditanya tentang tiga hal itu, dan Beliau membolehkannya. Andai ditanya
tentang yang lain, maka akan mengizinkannya pula. Sebab Beliau sudah memberi
isyarat buat selain mereka, dan Beliau pun pernah meruqyah untuk selain tiga
keluhan tadi”. (Shahih Muslim, 14/185, kitab As Salam, bab Istihbab Ar Ruqyah
Minal ‘Ain Wan Namlah).
Demikian sekilas cara
ruqyah. Mudah-mudahan bermanfaat. (Red).
Ruqyah dan
Kedudukannya
Ruqyah adalah sebuah terapi dengan membacakan
jampi-jampi. Sedangkan Ruqyah Syar’iyah yaitu sebuah terapi syar’i dengan cara
membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan doa-doa perlindungan yang bersumber
dari sunnah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Ruqyah syar’iyah dilakukan oleh
seorang muslim, baik untuk tujuan penjagaan dan perlindungan diri sendiri atau
orang lain, dari pengaruh buruk pandangan mata manusia dan jin (al-ain)
kesurupan, pengaruh sihir, gangguan kejiwaan, dan berbagai penyakit fisik dan
hati. Ruqyah juga bertujuan untuk melakukan terapi pengobatan dan penyembuhan
bagi orang yang terkena pengaruh, gangguan dan penyakit tersebut.
Ruqyah adalah terapi atau pengobatan yang sudah
ada di masa jahiliyah. Dan ketika Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam diutus
menjadi Rasulullah, maka ditetapkanlah Ruqyah yang dibolehkan dalam Islam.
Allah menurunkan surat al-Falaq dan An-Naas salah satu fungsinya sebagai
pencegahan dan terapi bagi orang beriman yang terkena sihir.
Diriwayatkan oleh
‘Aisyah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membaca kedua
surat tersebut dan meniupkannya pada kedua telapak tangannya, mengusapkan pada
kepala dan wajah dan anggota badannya. Dari Abu Said bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam dahulu senantiasa berlindung dari pengaruh mata
jin dan manusia, ketika turun dua surat tersebut, Beliau mengganti dengan
keduanya dan meninggalkan yang lainnya” (HR At-Tirmidzi).
Berkata Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Fathul
Bari (10/70),” Pengobatan cara nabi tidak diragukan kemampuan menyembuhkannya
karena datang dari wahyu”. Berkata Ibnul Qoyyim dalam kitab as-Shahihul Burhan,
“Al-Qur’an adalah tempat kesembuhan yang sempurna dari semua penyakit hati dan
semua penyakit dunia dan akhirat. Jika Allah tidak menyembuhkan Anda dengan
al-Qur’an, maka Allah tidak akan menyembuhkan Anda dengan yang lainnya”.
Sedangkan yang terkait langsung dengan landasan ruqyah disebutkan dalam
beberapa hadits, di antaranya:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ كُنَّا فِي
مَسِيرٍ لَنَا فَنَزَلْنَا فَجَاءَتْ جَارِيَةٌ فَقَالَتْ إِنَّ سَيِّدَ الْحَيِّ
سَلِيمٌ (لذيغ) وَإِنَّ نَفَرَنَا غَيْبٌ فَهَلْ مِنْكُمْ رَاقٍ فَقَامَ مَعَهَا
رَجُلٌ مَا كُنَّا نَأْبُنُهُ بِرُقْيَةٍ فَرَقَاهُ فَبَرَأَ فَأَمَرَ لَهُ
بِثَلَاثِينَ شَاةً وَسَقَانَا لَبَنًا فَلَمَّا رَجَعَ قُلْنَا لَهُ أَكُنْتَ
تُحْسِنُ رُقْيَةً أَوْ كُنْتَ تَرْقِي قَالَ لَا مَا رَقَيْتُ إِلَّا بِأُمِّ
الْكِتَابِ قُلْنَا لَا تُحْدِثُوا شَيْئًا حَتَّى نَأْتِيَ أَوْ نَسْأَلَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ
ذَكَرْنَاهُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ وَمَا كَانَ
يُدْرِيهِ أَنَّهَا رُقْيَةٌ اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ رواه البخاري
ومسلم)
Dari Abu Said al-Khudri RA berkata, “
Ketika kami sedang dalam suatu perjalanan, kami singgah di suatu tempat.
Datanglah seorang wanita dan berkata, “ Sesungguhnya pemimpin kami terkena
sengatan, sedangkan sebagian kami tengah pergi. Apakah ada di antara kalian
yang biasa meruqyah?” Maka bangunlah seorang dari kami yang tidak diragukan
kemampuannya tentang ruqyah.
Dia meruqyah dan sembuh. Kemudian dia diberi 30
ekor kambing dan kami mengambil susunya. Ketika peruqyah itu kembali, kami
bertanya, ”Apakah Anda bisa? Apakah Anda meruqyah?“ Ia berkata, ”Tidak, saya
tidak meruqyah kecuali dengan Al-Fatihah.” Kami berkata, “Jangan bicarakan
apapun kecuali setelah kita mendatangi atau bertanya pada Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam. Ketika sampai di Madinah, kami ceritakan pada nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam Dan beliau berkata, “ Tidakkah ada yang memberitahunya bahwa
itu adalah ruqyah? Bagilah (kambing itu) dan beri saya satu bagian.” (HR
Bukhari dan Muslim)
Dari Auf bin Malik al-Asyja’i berkata, ”Dahulu
kami meruqyah di masa jahiliyah, dan kami bertanya, “ Wahai Rasulullah
bagaimana pendapatmu?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Perlihatkan padaku ruqyah kalian. Tidak apa-apa dengan ruqyah jika tidak
mengandung kemusyrikan .” (HR Muslim)
Hukum
Ruqyah
Para ulama berpendapat pada dasarnya ruqyah
secara umum dilarang, kecuali ruqyah syariah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ
شِرْكٌ
“Sesungguhnya ruqyah (mantera), tamimah (jimat)
dan tiwalah (pelet) adalah kemusyrikan.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan
Al-Hakim).
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa menggantungkan sesuatu, maka
dirinya akan diserahkan kepadanya.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud dan
Al-Hakim)
عن عِمْرَان قَالَ: قَالَ نَبِيّ اللّهِ -صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- : يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفاً
بِغَيْرِ حِسَابٍ” قَالُوا: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللّهِ؟ قَالَ: “هُمُ
الّذِينَ لاَ يَكْتَوُونَ، وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ وَلاَ يَسْتَرْقُونَ وَعَلَى
رَبّهِمْ يَتَوَكّلُونَ
Dari Imran berkata, Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,” Akan masuk surga dari umatku 70 ribu dengan tanpa
hisab”. Sahabat bertanya, “Siapa mereka wahai Rasulullah ?” Rasul shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,” Mereka adalah orang yang tidak berobat dengan kay
(besi), tidak minta diruqyah dan mereka bertawakkal pada Allah”. (HR Bukhari
dan Muslim).
Para ulama banyak membicarakan hadits ini, di
antaranya yang terkait dengan ruqyah. Ulama sepakat bahwa ruqyah secara umum
dilarang, kecuali tidak ada unsur kemusyrikan. Dan mereka juga sepakat
membolehkan ruqyah syar’iyah, yaitu membacakan al-Qur’an dan doa-doa ma’tsurat
lainnya untuk penjagaan dan menyembuhkan penyakit. Disebutkan dalam kitab
Tuhfatul Ahwadzi syarh kitab Sunan at-Tirmidzi, kesimpulan hukum ruqyah adalah
bahwa jika ruqyah dengan tidak menggunakan Asma Allah, sifat-sifat-Nya,
firman-Nya dalam kitab-kitab suci, atau tidak menggunakan bahasa Arab dan
meyakini bahwa itu bermanfaat, maka hal itu bagian dari bersandar pada ruqyah.
Oleh karenanya dilarang. Dalam konteks inilah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam menyebutkan dalam haditsnya:
ما توكل من استرقى
”Tidaklah bertawakkal orang yang minta
diruqyah.” (HR At-Tirmidzi)
Adapun selain itu, seperti berlindung dengan
Al-Qur’an, Asma Allah Ta’ala dan ruqyah yang telah diriwayatkan (dalam hadits),
maka itu tidak dilarang. Dan dalam konteks ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepada orang yang meruqyah dengan Al-Qur’an dan mengambil upah
:
من أخذ برقية باطل فقد أخذتُ برقية حق
”Orang mengambil ruqyah dengan batil, sedang
saya mengambil ruqyah dengan benar. ” (HR At-Tirmidzi)
Imam Hasan Al-Banna berkata, “Jimat, mantera,
guna-guna, ramalan, perdukunan, penyingkapan perkara ghaib dan sejenisnya
merupakan kemungkaran yang wajib diperangi, kecuali ruqyah (mantera) dari
ayat-ayat Al-Qur’an atau ruqyah ma’tsurah (dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam).”
Praktek
Ruqyah
Secara umum ruqyah terbagi menjadi dua, ruqyah
sesuai dengan nilai-nilai Syariah dan ruqyah yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai Syariah. Adapun ruqyah sesuai Syari’ah harus sesuai dengan dhawabit
syari’ah, yaitu:
1.
Bacaan ruqyah berupa ayat-ayat al-Qur’an dan doa
atau wirid dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
2.
3.
Doa yang dibacakan jelas dan diketahui maknanya.
4.
Berkeyakinan bahwa ruqyah tidak berpengaruh
dengan sendirinya, tetapi dengan takdir Allah SWT.
5.
6.
Tidak isti’anah (minta tolong) kepada jin (atau
yang lainnya selain Allah).
7.
8.
Tidak menggunakan benda-benda yang menimbulkan
syubhat dan syirik.
9.
10.
Cara pengobatan harus sesuai dengan nilai-nilai
Syari’ah, khususnya dalam penanganan pasien lawan jenis.
11.
12.
Orang yang melakukan terapi harus memiliki
kebersihan aqidah, akhlaq yang terpuji dan istiqamah dalam ibadah.
13.
14.
Tidak minta diruqyah kecuali terpaksa. Sehingga
ruqyah yang tidak sesuai dengan dhawabit atau kriteria di atas dapat dikatakan
sebagai ruqyah yang tidak sesuai dengan Syari’ah.
15.
Di bawah ini beberapa contoh ruqyah dan
pengobatan yang tidak sesuai Syariah:
1.
Memenuhi permintaan jin.
2.
3.
Ruqyah yang dibacakan oleh tukang sihir.
4.
5.
Bersandar hanya pada ruqyah, bukan pada Allah.
6.
7.
Mencampuradukkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
bacaan lain yang tidak diketahui artinya.
8.
9.
Meminta bantuan jin
10.
11.
Bersumpah kepada jin
12.
13.
Ruqyah dengan menggunakan sesajen
14.
15.
Ruqyah dengan menggunakan alat yang dapat
mengarah kepada syirik dan bid’ah
16.
17.
Memenjarakan jin dan menyiksanya.
18.
Ruqyah
Dzatiyah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam
berbagai kesempatan menyampaikan kepada para sahabatnya untuk melakukan ruqyah
dzatiyah, yaitu seorang mukmin melakukan penjagaan terhadap diri sendiri dari
berbagai macam gangguan jin dan sihir. Hal ini lebih utama dari meminta
diruqyah orang lain. Dan pada dasarnya setiap orang beriman dapat melakukan
ruqyah dzatiyah. Berkata Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa,” Sesungguhnya
tauhid yang lurus dan benar yang dimiliki seorang muslim adalah senjata untuk
mengusir syetan”.
Beberapa hadits di bawah adalah anjuran
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang beriman untuk melakukan
ruqyah dzatiyah
“من قرأ آية الكرسي في دبر الصلاة المكتوبة كان في
ذمة الله إلى الصلاة الأخرى”
“Siapa yang membaca ayat Al-Kursi setelah shalat
wajib, maka ia dalam perlindungan Allah sampai shalat berikutnya” (HR
At-Tabrani).
عن عبد الله بن خُبَيْبٍ عن أَبيهِ قالَ:
“خَرَجْنَا في لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ وظُلْمَةٍ شَدِيدَةٍ نَطْلُبُ رَسُولَ الله صلى
الله عليه وسلم يُصَلّي لَنَا قالَ فأَدْرَكْتُهُ فقالَ: قُلْ. فَلَمْ أَقُلْ
شَيْئاً. ثُمّ قالَ: قُلْ فَلَمْ أَقُلْ شَيْئاً. قالَ قُلْ فَقُلْتُ مَا أقُولُ
قال قُلْ: قُلْ {هُوَ الله أَحَدٌ} وَالمُعَوّذَتَيْنِ حِينَ تُمْسِي وتُصْبِحُ
ثَلاَثَ مَرّاتٍ تَكْفِيكَ مِنْ كُلّ شَيْء”.
Dari Abdullah bin Khubaib dari bapaknya berkata,
”Kami keluar di suatu malam, kondisinya hujan dan sangat gelap, kami mencari
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengimami kami, kemudian kami
mendapatkannya.” Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata,” Katakanlah”. “
Saya tidak berkata sedikit pun”. Kemudian beliau berkata, “Katakanlah.”
“Sayapun tidak berkata sepatahpun.” “Katakanlah, ”Saya berkata, ”Apa yang harus
saya katakan?“ Rasul bersabda, ”Katakanlah, qulhuwallahu ahad dan
al-mu’awidzatain ketika pagi dan sore tiga kali, niscaya cukup bagimu dari
setiap gangguan.” (HR Abu Dawud, At-tirmidzi dan an-Nasa’i)
مَنْ قَرَأَ بِالْآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ
الْبَقَرَةِ فِي لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ
“Siapa yang membaca dua ayat dari akhir surat
Al-Baqarah setiap malam, maka cukuplah baginya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
مَنْ نَزَلَ مَنْزلاً ثُمَّ قالَ: أعُوذُ
بِكَلِماتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرّ مَا خَلَقَ، لَم يَضُرُّهُ شَيْءٌ حَتى
يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذلكَ”.
“Siapa yang turun di suatu tempat, kemudian
berkata, ‘A’udzu bikalimaatillahit taammaati min syarri maa khalaq’, niscaya
tidak ada yang mengganggunya sampai ia pergi dari tempat itu.” (HR Muslim)
Oleh karena itu orang beriman harus senantiasa
melakukan ruqyah dzatiyah dalam kesehariannya. Hal-hal yang harus dilakukan
dengan ruqyah dzatiyah adalah:
1.
Memperbanyak dzikir dan doa yang ma’tsur dari
Nabi SAW, khususnya setiap pagi, sore dan setelah selesai shalat wajib.
2.
3.
Membaca Al-Qur’an rutin setiap hari
4.
5.
Meningkatkan ibadah dan pendekatan diri kepada
Allah.
6.
7.
Menjauhi tempat-tempat maksiat
8.
9.
Mengikuti majelis ta’lim dan duduk bersama
orang-orang shalih.
10.
Mengambil
Upah dari Ruqyah
Para ulama sepakat membolehkan mengambil upah
dari mengobati dengan cara ruqyah syar’iyah. Bahkan dalam hadits terkenal
tentang para sahabat yang meruqyah kepala suku yang terkena bisa ular, Abu
Sa’id Al-Khudri berkata, “ Saya tidak bersedia meruqyah sampai kalian memberiku
upah”. Sehingga dalam kitab Shahih Al-Bukhari, salah satunya memasukkan hadits
ini dalam bab al-ijarah. Dalam ujung hadits Abu Said Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ
“Bagilah (upah itu), dan beri aku satu
bagian.”(Bukhari dan Muslim) Sedangkan upaya menjadikan pengobatan
ruqyah sebagai usaha rutin dan tafarrugh, maka hukumnya sama dengan mengambil
upah dari pengobatan yang lainnya. Hal ini karena pengobatan ruqyah membutuhkan
waktu yang cukup dan dilakukan secara profesional. Begitu juga para peruqyah
dituntut senantiasa meningkatkan ilmu dan keikhlasan/ketaqwaan.
Syekh Abdullah bin Baaz dalam kumpulan ceramah
yang berjudul liqo-al ahibbah memfatwakan boleh tafarrugh (bekerja full time)
dalam pengobatan ruqyah, beliau beralasan karena terkait dengan maslahat
syar’iyat. Demikian juga fatwa syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam
Liqo-ul qurra membolehkan tafarrugh dalam pengobatan ruqyah.
Namun demikian karena pengobatan ruqyah adalah
bagian dari fardhu kifayah dan kebutuhan ummat, maka sebaiknya jangan dijadikan
sarana komersial atau bisnis murni, demikian halnya dengan pengurusan jenazah,
khutbah, imam shalat, adzan dan iqomah, mengajarkan Al-Qur’an, bimbingan haji
dll.
Sikap
Dewan Syariah terhadap Ruqyah Syar’iyah
1.
Dewan Syariah mendukung Ruqyah Syar’iyah.
2.
Pengobatan ruqyah syar’iyah hendaknya dilakukan
secara kelembagaan non Partai dan tidak menggunakan sarana/simbol Partai.
3.
Memiliki Pengawas Syariah untuk menghindari
penyimpangan.
4.
Pengobatan ruqyah syar’iyah hendaknya menjadi
bagian dari dakwah Islam.
5.
Dibolehkan mengambil upah dari pengobatan ruqyah
syar’iyah. Sedangkan tafarrugh dalam hal ini diukur dari konteks kemashlahatan
syar’iyah dan dakwah.
6.
Pengobatan dilakukan sesuai dengan gejala
penyakit pasien dengan tahapan sebagai berikut:
7.
Penutup
Demikian Bayan dan Panduan Ruqyah Dewan Syariah
Pusat dibuat untuk membentengi para kader, anggota dan simpatisan dari berbagai
macam penyimpangan Syariah.
والله أعلم بالصـواب ,وهو الموفق إلى أقوم الطريق
,والحمد لله رب العالمين
“Bagilah (upah itu), dan beri aku satu bagian.”(Bukhari dan Muslim) Sedangkan upaya menjadikan pengobatan ruqyah sebagai usaha rutin dan tafarrugh, maka hukumnya sama dengan mengambil upah dari pengobatan yang lainnya. Hal ini karena pengobatan ruqyah membutuhkan waktu yang cukup dan dilakukan secara profesional. Begitu juga para peruqyah dituntut senantiasa meningkatkan ilmu dan keikhlasan/ketaqwaan.
Syekh Abdullah bin Baaz dalam kumpulan ceramah yang berjudul liqo-al ahibbah memfatwakan boleh tafarrugh (bekerja full time) dalam pengobatan ruqyah, beliau beralasan karena terkait dengan maslahat syar’iyat. Demikian juga fatwa syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam Liqo-ul qurra membolehkan tafarrugh dalam pengobatan ruqyah.
Namun demikian karena pengobatan ruqyah adalah bagian dari fardhu kifayah dan kebutuhan ummat, maka sebaiknya jangan dijadikan sarana komersial atau bisnis murni, demikian halnya dengan pengurusan jenazah, khutbah, imam shalat, adzan dan iqomah, mengajarkan Al-Qur’an, bimbingan haji dll.
Sikap Dewan Syariah terhadap Ruqyah Syar’iyah
- Dewan Syariah mendukung Ruqyah Syar’iyah.
- Pengobatan ruqyah syar’iyah hendaknya dilakukan secara kelembagaan non Partai dan tidak menggunakan sarana/simbol Partai.
- Memiliki Pengawas Syariah untuk menghindari penyimpangan.
- Pengobatan ruqyah syar’iyah hendaknya menjadi bagian dari dakwah Islam.
- Dibolehkan mengambil upah dari pengobatan ruqyah syar’iyah. Sedangkan tafarrugh dalam hal ini diukur dari konteks kemashlahatan syar’iyah dan dakwah.
- Pengobatan dilakukan sesuai dengan gejala penyakit pasien dengan tahapan sebagai berikut:
Penutup
Demikian Bayan dan Panduan Ruqyah Dewan Syariah Pusat dibuat untuk membentengi para kader, anggota dan simpatisan dari berbagai macam penyimpangan Syariah.
والله أعلم بالصـواب ,وهو الموفق إلى أقوم الطريق ,والحمد لله رب العالمين
Ruqyah dan
Kedudukannya
Ruqyah adalah sebuah terapi dengan membacakan
jampi-jampi. Sedangkan Ruqyah Syar’iyah yaitu sebuah terapi syar’i dengan cara
membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan doa-doa perlindungan yang bersumber
dari sunnah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Ruqyah syar’iyah dilakukan oleh
seorang muslim, baik untuk tujuan penjagaan dan perlindungan diri sendiri atau
orang lain, dari pengaruh buruk pandangan mata manusia dan jin (al-ain)
kesurupan, pengaruh sihir, gangguan kejiwaan, dan berbagai penyakit fisik dan
hati. Ruqyah juga bertujuan untuk melakukan terapi pengobatan dan penyembuhan
bagi orang yang terkena pengaruh, gangguan dan penyakit tersebut.
Ruqyah adalah terapi atau pengobatan yang sudah
ada di masa jahiliyah. Dan ketika Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam diutus
menjadi Rasulullah, maka ditetapkanlah Ruqyah yang dibolehkan dalam Islam.
Allah menurunkan surat al-Falaq dan An-Naas salah satu fungsinya sebagai
pencegahan dan terapi bagi orang beriman yang terkena sihir.
Diriwayatkan oleh
‘Aisyah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membaca kedua
surat tersebut dan meniupkannya pada kedua telapak tangannya, mengusapkan pada
kepala dan wajah dan anggota badannya. Dari Abu Said bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam dahulu senantiasa berlindung dari pengaruh mata
jin dan manusia, ketika turun dua surat tersebut, Beliau mengganti dengan
keduanya dan meninggalkan yang lainnya” (HR At-Tirmidzi).
Berkata Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Fathul
Bari (10/70),” Pengobatan cara nabi tidak diragukan kemampuan menyembuhkannya
karena datang dari wahyu”. Berkata Ibnul Qoyyim dalam kitab as-Shahihul Burhan,
“Al-Qur’an adalah tempat kesembuhan yang sempurna dari semua penyakit hati dan
semua penyakit dunia dan akhirat. Jika Allah tidak menyembuhkan Anda dengan
al-Qur’an, maka Allah tidak akan menyembuhkan Anda dengan yang lainnya”.
Sedangkan yang terkait langsung dengan landasan ruqyah disebutkan dalam
beberapa hadits, di antaranya:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ كُنَّا فِي
مَسِيرٍ لَنَا فَنَزَلْنَا فَجَاءَتْ جَارِيَةٌ فَقَالَتْ إِنَّ سَيِّدَ الْحَيِّ
سَلِيمٌ (لذيغ) وَإِنَّ نَفَرَنَا غَيْبٌ فَهَلْ مِنْكُمْ رَاقٍ فَقَامَ مَعَهَا
رَجُلٌ مَا كُنَّا نَأْبُنُهُ بِرُقْيَةٍ فَرَقَاهُ فَبَرَأَ فَأَمَرَ لَهُ
بِثَلَاثِينَ شَاةً وَسَقَانَا لَبَنًا فَلَمَّا رَجَعَ قُلْنَا لَهُ أَكُنْتَ
تُحْسِنُ رُقْيَةً أَوْ كُنْتَ تَرْقِي قَالَ لَا مَا رَقَيْتُ إِلَّا بِأُمِّ
الْكِتَابِ قُلْنَا لَا تُحْدِثُوا شَيْئًا حَتَّى نَأْتِيَ أَوْ نَسْأَلَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ
ذَكَرْنَاهُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ وَمَا كَانَ
يُدْرِيهِ أَنَّهَا رُقْيَةٌ اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ رواه البخاري
ومسلم)
Dari Abu Said al-Khudri RA berkata, “
Ketika kami sedang dalam suatu perjalanan, kami singgah di suatu tempat.
Datanglah seorang wanita dan berkata, “ Sesungguhnya pemimpin kami terkena
sengatan, sedangkan sebagian kami tengah pergi. Apakah ada di antara kalian
yang biasa meruqyah?” Maka bangunlah seorang dari kami yang tidak diragukan
kemampuannya tentang ruqyah.
Dia meruqyah dan sembuh. Kemudian dia diberi 30
ekor kambing dan kami mengambil susunya. Ketika peruqyah itu kembali, kami
bertanya, ”Apakah Anda bisa? Apakah Anda meruqyah?“ Ia berkata, ”Tidak, saya
tidak meruqyah kecuali dengan Al-Fatihah.” Kami berkata, “Jangan bicarakan
apapun kecuali setelah kita mendatangi atau bertanya pada Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam. Ketika sampai di Madinah, kami ceritakan pada nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam Dan beliau berkata, “ Tidakkah ada yang memberitahunya bahwa
itu adalah ruqyah? Bagilah (kambing itu) dan beri saya satu bagian.” (HR
Bukhari dan Muslim)
Dari Auf bin Malik al-Asyja’i berkata, ”Dahulu
kami meruqyah di masa jahiliyah, dan kami bertanya, “ Wahai Rasulullah
bagaimana pendapatmu?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Perlihatkan padaku ruqyah kalian. Tidak apa-apa dengan ruqyah jika tidak
mengandung kemusyrikan .” (HR Muslim)
Hukum
Ruqyah
Para ulama berpendapat pada dasarnya ruqyah
secara umum dilarang, kecuali ruqyah syariah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ
شِرْكٌ
“Sesungguhnya ruqyah (mantera), tamimah (jimat)
dan tiwalah (pelet) adalah kemusyrikan.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan
Al-Hakim).
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa menggantungkan sesuatu, maka
dirinya akan diserahkan kepadanya.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud dan
Al-Hakim)
عن عِمْرَان قَالَ: قَالَ نَبِيّ اللّهِ -صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- : يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفاً
بِغَيْرِ حِسَابٍ” قَالُوا: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللّهِ؟ قَالَ: “هُمُ
الّذِينَ لاَ يَكْتَوُونَ، وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ وَلاَ يَسْتَرْقُونَ وَعَلَى
رَبّهِمْ يَتَوَكّلُونَ
Dari Imran berkata, Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,” Akan masuk surga dari umatku 70 ribu dengan tanpa
hisab”. Sahabat bertanya, “Siapa mereka wahai Rasulullah ?” Rasul shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,” Mereka adalah orang yang tidak berobat dengan kay
(besi), tidak minta diruqyah dan mereka bertawakkal pada Allah”. (HR Bukhari
dan Muslim).
Para ulama banyak membicarakan hadits ini, di
antaranya yang terkait dengan ruqyah. Ulama sepakat bahwa ruqyah secara umum
dilarang, kecuali tidak ada unsur kemusyrikan. Dan mereka juga sepakat
membolehkan ruqyah syar’iyah, yaitu membacakan al-Qur’an dan doa-doa ma’tsurat
lainnya untuk penjagaan dan menyembuhkan penyakit.
Disebutkan dalam kitab
Tuhfatul Ahwadzi syarh kitab Sunan at-Tirmidzi, kesimpulan hukum ruqyah adalah
bahwa jika ruqyah dengan tidak menggunakan Asma Allah, sifat-sifat-Nya,
firman-Nya dalam kitab-kitab suci, atau tidak menggunakan bahasa Arab dan
meyakini bahwa itu bermanfaat, maka hal itu bagian dari bersandar pada ruqyah.
Oleh karenanya dilarang. Dalam konteks inilah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam menyebutkan dalam haditsnya:
ما توكل من استرقى
”Tidaklah bertawakkal orang yang minta
diruqyah.” (HR At-Tirmidzi)
Adapun selain itu, seperti berlindung dengan
Al-Qur’an, Asma Allah Ta’ala dan ruqyah yang telah diriwayatkan (dalam hadits),
maka itu tidak dilarang. Dan dalam konteks ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepada orang yang meruqyah dengan Al-Qur’an dan mengambil upah
:
من أخذ برقية باطل فقد أخذتُ برقية حق
”Orang mengambil ruqyah dengan batil, sedang
saya mengambil ruqyah dengan benar. ” (HR At-Tirmidzi)
Imam Hasan Al-Banna berkata, “Jimat, mantera,
guna-guna, ramalan, perdukunan, penyingkapan perkara ghaib dan sejenisnya
merupakan kemungkaran yang wajib diperangi, kecuali ruqyah (mantera) dari
ayat-ayat Al-Qur’an atau ruqyah ma’tsurah (dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam).”
Praktek
Ruqyah
Secara umum ruqyah terbagi menjadi dua, ruqyah
sesuai dengan nilai-nilai Syariah dan ruqyah yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai Syariah. Adapun ruqyah sesuai Syari’ah harus sesuai dengan dhawabit
syari’ah, yaitu:
1.
Bacaan ruqyah berupa ayat-ayat al-Qur’an dan doa
atau wirid dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
2.
3.
Doa yang dibacakan jelas dan diketahui maknanya.
4.
Berkeyakinan bahwa ruqyah tidak berpengaruh
dengan sendirinya, tetapi dengan takdir Allah SWT.
5.
6.
Tidak isti’anah (minta tolong) kepada jin (atau
yang lainnya selain Allah).
7.
8.
Tidak menggunakan benda-benda yang menimbulkan
syubhat dan syirik.
9.
10.
Cara pengobatan harus sesuai dengan nilai-nilai
Syari’ah, khususnya dalam penanganan pasien lawan jenis.
11.
12.
Orang yang melakukan terapi harus memiliki
kebersihan aqidah, akhlaq yang terpuji dan istiqamah dalam ibadah.
13.
14.
Tidak minta diruqyah kecuali terpaksa. Sehingga
ruqyah yang tidak sesuai dengan dhawabit atau kriteria di atas dapat dikatakan
sebagai ruqyah yang tidak sesuai dengan Syari’ah.
15.
Di bawah ini beberapa contoh ruqyah dan
pengobatan yang tidak sesuai Syariah:
1.
Memenuhi permintaan jin.
2.
3.
Ruqyah yang dibacakan oleh tukang sihir.
4.
5.
Bersandar hanya pada ruqyah, bukan pada Allah.
6.
7.
Mencampuradukkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
bacaan lain yang tidak diketahui artinya.
8.
9.
Meminta bantuan jin
10.
11.
Bersumpah kepada jin
12.
13.
Ruqyah dengan menggunakan sesajen
14.
15.
Ruqyah dengan menggunakan alat yang dapat
mengarah kepada syirik dan bid’ah
16.
17.
Memenjarakan jin dan menyiksanya.
18.
Ruqyah
Dzatiyah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam
berbagai kesempatan menyampaikan kepada para sahabatnya untuk melakukan ruqyah
dzatiyah, yaitu seorang mukmin melakukan penjagaan terhadap diri sendiri dari
berbagai macam gangguan jin dan sihir. Hal ini lebih utama dari meminta
diruqyah orang lain. Dan pada dasarnya setiap orang beriman dapat melakukan
ruqyah dzatiyah. Berkata Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa,” Sesungguhnya
tauhid yang lurus dan benar yang dimiliki seorang muslim adalah senjata untuk
mengusir syetan”.
Beberapa hadits di bawah adalah anjuran
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang beriman untuk melakukan
ruqyah dzatiyah
“من قرأ آية الكرسي في دبر الصلاة المكتوبة كان في
ذمة الله إلى الصلاة الأخرى”
“Siapa yang membaca ayat Al-Kursi setelah shalat
wajib, maka ia dalam perlindungan Allah sampai shalat berikutnya” (HR
At-Tabrani).
عن عبد الله بن خُبَيْبٍ عن أَبيهِ قالَ:
“خَرَجْنَا في لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ وظُلْمَةٍ شَدِيدَةٍ نَطْلُبُ رَسُولَ الله صلى
الله عليه وسلم يُصَلّي لَنَا قالَ فأَدْرَكْتُهُ فقالَ: قُلْ. فَلَمْ أَقُلْ
شَيْئاً. ثُمّ قالَ: قُلْ فَلَمْ أَقُلْ شَيْئاً. قالَ قُلْ فَقُلْتُ مَا أقُولُ
قال قُلْ: قُلْ {هُوَ الله أَحَدٌ} وَالمُعَوّذَتَيْنِ حِينَ تُمْسِي وتُصْبِحُ
ثَلاَثَ مَرّاتٍ تَكْفِيكَ مِنْ كُلّ شَيْء”.
Dari Abdullah bin Khubaib dari bapaknya berkata,
”Kami keluar di suatu malam, kondisinya hujan dan sangat gelap, kami mencari
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengimami kami, kemudian kami
mendapatkannya.” Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata,” Katakanlah”. “
Saya tidak berkata sedikit pun”. Kemudian beliau berkata, “Katakanlah.”
“Sayapun tidak berkata sepatahpun.” “Katakanlah, ”Saya berkata, ”Apa yang harus
saya katakan?“ Rasul bersabda, ”Katakanlah, qulhuwallahu ahad dan
al-mu’awidzatain ketika pagi dan sore tiga kali, niscaya cukup bagimu dari
setiap gangguan.” (HR Abu Dawud, At-tirmidzi dan an-Nasa’i)
مَنْ قَرَأَ بِالْآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ
الْبَقَرَةِ فِي لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ
“Siapa yang membaca dua ayat dari akhir surat
Al-Baqarah setiap malam, maka cukuplah baginya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
مَنْ نَزَلَ مَنْزلاً ثُمَّ قالَ: أعُوذُ
بِكَلِماتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرّ مَا خَلَقَ، لَم يَضُرُّهُ شَيْءٌ حَتى
يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذلكَ”.
“Siapa yang turun di suatu tempat, kemudian
berkata, ‘A’udzu bikalimaatillahit taammaati min syarri maa khalaq’, niscaya
tidak ada yang mengganggunya sampai ia pergi dari tempat itu.” (HR Muslim)
Oleh karena itu orang beriman harus senantiasa
melakukan ruqyah dzatiyah dalam kesehariannya. Hal-hal yang harus dilakukan
dengan ruqyah dzatiyah adalah:
1.
Memperbanyak dzikir dan doa yang ma’tsur dari
Nabi SAW, khususnya setiap pagi, sore dan setelah selesai shalat wajib.
2.
3.
Membaca Al-Qur’an rutin setiap hari
4.
5.
Meningkatkan ibadah dan pendekatan diri kepada
Allah.
6.
7.
Menjauhi tempat-tempat maksiat
8.
9.
Mengikuti majelis ta’lim dan duduk bersama
orang-orang shalih.
10.
Mengambil
Upah dari Ruqyah
Para ulama sepakat membolehkan mengambil upah
dari mengobati dengan cara ruqyah syar’iyah. Bahkan dalam hadits terkenal
tentang para sahabat yang meruqyah kepala suku yang terkena bisa ular, Abu
Sa’id Al-Khudri berkata, “ Saya tidak bersedia meruqyah sampai kalian memberiku
upah”. Sehingga dalam kitab Shahih Al-Bukhari, salah satunya memasukkan hadits
ini dalam bab al-ijarah. Dalam ujung hadits Abu Said Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ
“Bagilah (upah itu), dan beri aku satu
bagian.”(Bukhari dan Muslim) Sedangkan upaya menjadikan pengobatan
ruqyah sebagai usaha rutin dan tafarrugh, maka hukumnya sama dengan mengambil
upah dari pengobatan yang lainnya. Hal ini karena pengobatan ruqyah membutuhkan
waktu yang cukup dan dilakukan secara profesional. Begitu juga para peruqyah
dituntut senantiasa meningkatkan ilmu dan keikhlasan/ketaqwaan.
Syekh Abdullah bin Baaz dalam kumpulan ceramah
yang berjudul liqo-al ahibbah memfatwakan boleh tafarrugh (bekerja full time)
dalam pengobatan ruqyah, beliau beralasan karena terkait dengan maslahat
syar’iyat. Demikian juga fatwa syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam
Liqo-ul qurra membolehkan tafarrugh dalam pengobatan ruqyah.
Namun demikian karena pengobatan ruqyah adalah
bagian dari fardhu kifayah dan kebutuhan ummat, maka sebaiknya jangan dijadikan
sarana komersial atau bisnis murni, demikian halnya dengan pengurusan jenazah,
khutbah, imam shalat, adzan dan iqomah, mengajarkan Al-Qur’an, bimbingan haji
dll.
Sikap
Dewan Syariah terhadap Ruqyah Syar’iyah
1.
Dewan Syariah mendukung Ruqyah Syar’iyah.
2.
Pengobatan ruqyah syar’iyah hendaknya dilakukan
secara kelembagaan non Partai dan tidak menggunakan sarana/simbol Partai.
3.
Memiliki Pengawas Syariah untuk menghindari
penyimpangan.
4.
Pengobatan ruqyah syar’iyah hendaknya menjadi
bagian dari dakwah Islam.
5.
Dibolehkan mengambil upah dari pengobatan ruqyah
syar’iyah. Sedangkan tafarrugh dalam hal ini diukur dari konteks kemashlahatan
syar’iyah dan dakwah.
6.
Pengobatan dilakukan sesuai dengan gejala
penyakit pasien dengan tahapan sebagai berikut:
7.
Penutup
Demikian Bayan dan Panduan Ruqyah Dewan Syariah
Pusat dibuat untuk membentengi para kader, anggota dan simpatisan dari berbagai
macam penyimpangan Syariah.
والله أعلم بالصـواب ,وهو الموفق إلى أقوم الطريق
,والحمد لله رب العالمين
“Bagilah (upah itu), dan beri aku satu bagian.”(Bukhari dan Muslim) Sedangkan upaya menjadikan pengobatan ruqyah sebagai usaha rutin dan tafarrugh, maka hukumnya sama dengan mengambil upah dari pengobatan yang lainnya. Hal ini karena pengobatan ruqyah membutuhkan waktu yang cukup dan dilakukan secara profesional. Begitu juga para peruqyah dituntut senantiasa meningkatkan ilmu dan keikhlasan/ketaqwaan.
Syekh Abdullah bin Baaz dalam kumpulan ceramah yang berjudul liqo-al ahibbah memfatwakan boleh tafarrugh (bekerja full time) dalam pengobatan ruqyah, beliau beralasan karena terkait dengan maslahat syar’iyat. Demikian juga fatwa syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam Liqo-ul qurra membolehkan tafarrugh dalam pengobatan ruqyah.
Namun demikian karena pengobatan ruqyah adalah bagian dari fardhu kifayah dan kebutuhan ummat, maka sebaiknya jangan dijadikan sarana komersial atau bisnis murni, demikian halnya dengan pengurusan jenazah, khutbah, imam shalat, adzan dan iqomah, mengajarkan Al-Qur’an, bimbingan haji dll.
Sikap Dewan Syariah terhadap Ruqyah Syar’iyah
- Dewan Syariah mendukung Ruqyah Syar’iyah.
- Pengobatan ruqyah syar’iyah hendaknya dilakukan secara kelembagaan non Partai dan tidak menggunakan sarana/simbol Partai.
- Memiliki Pengawas Syariah untuk menghindari penyimpangan.
- Pengobatan ruqyah syar’iyah hendaknya menjadi bagian dari dakwah Islam.
- Dibolehkan mengambil upah dari pengobatan ruqyah syar’iyah. Sedangkan tafarrugh dalam hal ini diukur dari konteks kemashlahatan syar’iyah dan dakwah.
- Pengobatan dilakukan sesuai dengan gejala penyakit pasien dengan tahapan sebagai berikut:
Penutup
Demikian Bayan dan Panduan Ruqyah Dewan Syariah Pusat dibuat untuk membentengi para kader, anggota dan simpatisan dari berbagai macam penyimpangan Syariah.
والله أعلم بالصـواب ,وهو الموفق إلى أقوم الطريق ,والحمد لله رب العالمين